Kamis, 28 Mei 2009

Visual Keperihan dalam Sajak-sajak Fatah Yasin Noor

Esai Taufiq Wr. Hidayat


Ketika seorang penyair telah mengelupasi seluruh kegelisahannya, maka terlahir dari jemarinya diksi-diksi menggugah tentang nama dari senenap nama kegelisahan. Kegelisahan, yang diabadikan ke dalam simbol verbal berupa puisi, akan memunculkan pemahaman yang reflektif bagi gerak-gerik atau gejala-gejala kemanusiaan. Terbentuklah struktur, dan tertransformasikanlah inovasi-inovasi. Kegelisahan mengacu pada objek gerak-gerik peristiwa yang terjadi secara realistis (referential symbolism) sekaligus memberikan penekanan pada alam psikologis subyektif penyair (evocative symbolism). Begitulah di dalam antologi puisi tunggal Fatah Yasin Noor ini.

Malam itu, saya mendapat sejenis kehormatan atau, boleh dibilang, keberuntungan buat orang yang terlalu hijau tentang puisi macam saya, untuk memilih puisi-puisi Fatah Yasin Noor sebelum diterbitkan. “Mandat” berat itu saya terima dari Bang Fatah sendiri dengan rasa senang, juga bersiap untuk melakukan kerja keras mengapresiasi karya-karya Fatah Yasin yang masih berupa tulisan tangan dan teramat banyak di buku catatan hariannya. Puisi-puisi itu ditulisnya pada kurun-kurun waktu 90-an sampai dengan tahun 2002. Sebuah perjalanan kepenyairan yang intens, penuh kesetiaan dan kesabaran. Dari buku catatan harian Fatah Yasin, saya dapat membaca ratusan sajak dan esai-esai. Boleh dikata, dalam perjalanan kepengarangannya, Fatah adalah manusia yang mengidap kegelisahan yang akut. Sehingga tidak mengherankan bila dari tangannya memancar karya-karya sastra, baik imajinatif maupun non-imajinaf, begitu melimpah. Malam itu, ketika saya mendapat kehormatan untuk memilih dan mengetik puisi-puisi Fatah, beliau mengeluarkan semua hasil tulisannya yang ditulisnya di dalam buku-buku harian yang tebal dan jumlahnya, cukup mengagetkan, tak dapat saya hitung dengan jari tangan! Bangsat! Banyak sekali!

Di dalam benak saya terlintas rasa kagum dengan militansi kepenulisannya. Semua buku-buku catatan harian yang berisi puisi-puisi dan esai-esai sastra itu ia tulis sejak kurun waktu di mana waktu itu saya masih belum mengenal mahluk yang bernama sastra. Sebuah kerja raksasa yang mengagumkan. Dan, malam itu di kediamannya, saya katakan apakah tak punya keinginan untuk diterbitkan? Dengan tawa khas yang lepas, Fatah Yasin menjawab: “Lihat saja bila nantinya! Buku-buku ini akan sampai ke tangan ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang,” katanya sembari menyedot rokok filter kuat-kuat. Ah, sebuah ambisi yang gila, pikir saya.

Dengan melihat hasil-hasil karya tulisnya, yang tetap ia tekuni sampai detik ini, seorang Fatah adalah manusia gelisah dalam menjalani kesepian. Sisifus berkepala batu. Dan saya yakin, tanpa kesetiaan dalam memelihara kegelisahan jiwanya, ia tak mungkin melahirkan tulisan-tulisan sebanyak itu. Ia mungkin memanglah seorang pemurung kelas berat. Fatah memelihara, merawat, membelai, mencumbui, menyetubuhi kegelisahannya sehingga lahirlah ratusan ribuan juta-juta-juta huruf dari tangannya yang terangkai dengan bagus dan sastrawi. Dengan kegelisahan itulah, saya menemukan semacam keperihan-keperihan yang terus-menerus menetes dari diksi demi diksi sajak-sajak yang diciptanya. Penyair kita ini ternyata menyukai kegelisahan. Ia mencari dan memunculkan kegelisahan itu di mana pun, pada kondisi bagaimanapun. Mungkin hingga tangannya kaku tak lagi kuat mengangkat pena. Memang Sisifus tak akan berhenti mengusung batu ke atas gunung terus-menerus dengan setia, kecuali ia sudah menemui ajalnya.

Di dalam sajak-sajaknya, Fatah senantiasa menampilkan visualisasi “keperihan” suatu peristiwa abstrak dalam jiwa individual yang asasi. Yang terasa saat melakukan pengembaraan terhadap kata demi kata dalam sajak-sajak Fatah, ada semacam kemurungan, duka, cinta, kesahduan, yang benar-benar hadir dengan wajah sayu, sepi, nikmat, dan murung. Gaya “visual keperihan” sajak-sajak Fatah, pada titik tertentu dalam kehikmatan, menyeret dalam jebakan keheningan di mana seseorang tak ingin keluar dari dalamnya. Namun dari gaya visual yang banyak menampilkan keperihan, sajak-sajak Fatah memang tidak menantang kita untuk menyelaminya secara dalam. Sajak-sajaknya lebih banyak mengajak kita untuk merasakan, menghikmati, merenung, merangsang kemurungan demi suatu makna, men-sunyi-kan untuk menemukan peng-arti-an. Namun demikian, bukan berarti sajak-sajak Fatah tidak dalam untuk diselami. Justru di situ letak kekuatan dan kedalaman sajak-sajak Fatah yang sederhana. Ia dapat dibaca oleh siapa pun yang tak memiliki kemampuan apresiasi yang baik, namun sajak-sajak Fatah tak akan mengecewakan bagi yang dahaga akan kedalaman makna untuk kebutuhan apresiasi atau “ritual akademika” sastra. Kalau beberapa penyair Banyuwangi menyebut Fatah Yasin Noor dengan merek “penyair intelektual”. Saya lebih sreg menyebut seorang Fatah “penyair kerupuk” sebab ia seorang pengusaha kerupuk. Apa kaitannya dengan karya-karya sastranya? Kaitannya adalah ini: Kebersahajaan dan kesederhanaan dengan imaji-maji liar. Jadi, karya-karya yang terpancar dari sela-sela jari-jemarinya sesuai sekali dengan gaya hidupnya yang bersahaja, sederhana, bekerja, dan berimaji liar, serta memiliki rencana-rencana raksasa di dunia sastra tanah air.

Penyair memang bukan muballigh, bukan juru pidato, itulah karenanya ia mesti bisa menjaga sajak-sajaknya untuk tidak terjebak dalam propaganda-propaganda, retorika-retorika, atau berfilsafat muluk-muluk berbusa. Sehingga menyebabkan kualitas karya jadi buruk, tidak abadi, atau menjadi taik keledai. Dalam hal ini, Fatah Yasin Noor telah benar-benar mampu membebaskan sajak-sajaknya dari gairah menggurui, menceramahi, mempidatoi, mempropagandai, atau berfilsafat muluk-muluk berbusa. Dengan demikian, ada kenikmatan estetis asyik ketika membaca karya-karya Fatah Yasin yang cenderung memvisualisasikan keperihan dari kegelisahan yang akut. Transformasi keperihan dan kegelisahan dengan lihai dilukis Fatah dengan liris ke dalam teks. Nampaknya, dia telah menemukan semacam ucap langgeng di dalam teks. Sehingga lahirlah simbol-simbol verbal berupa puisi tertulis dengan acuan gerak-gerik kemanusiaan paling asasi secara sadar atau tidak, dengan “menindas” peristiwa sekaligus – pada waktu bersamaan – “digilasnya” kejiwaannya sebagai pengrajin kata-kata.

Pembangunan diksi dengan imaji-imaji visual tentang suatu peristiwa abstrak dalam jiwa individual menyebabkan seluruh rasa; sunyi dan perih, hening dan senyap, murung dan renung, benar-benar seolah sedang terasa. Sajak-sajak Fatah mengajak mengadakan pengembaraan rasa (sense) dan permenungan (contemplation) ke dalam sebuah dunia hening dan khusyuk. Visualisasi, rata-rata, diikuti keperihan jiwa dalam kegelisahan menampakkan aliterasi dari suatu peristiwa jiwa abstrak yang menjebak. Sehingga akan cukup membuat kita tercenung dan teduh sambil terkesima. Transformasi realitas ke dalam unsur-unsur abstrak justru menyebabkan realitas menjadi tidak visual. Yang terjadi adalah sebaliknya. Fatah begitu gemulai mengusung realitas ke dalam sebuah adonan diksi yang tenang, tidak meledak-ledak, hening. Lalu rangkaian itu menjadi suatu formasi yang berhasil dalam memvisualkan ciri khas keperihan dalam sajak-sajaknya. Kalau boleh dikata, sajak-sajak Fatah adalah hasil “dialektika kesenyapan” dengan realitas. Sehingga sajak-sajak Fatah tidak memandang realitas sebagaimana mestinya. Namun ia mengolah dan memprosesnya dalam ketenangan, kesahduan, cinta, keperihan, kekal dan fana.

Sajak Fatah Yasin tidak mendobrak realitas. Ia memilih berdamai dengan realitasnya. Namun, sajak-sajak dalam antologi ini memberikan semacam tawaran adonan diksi-diksi yang “mencengangkan” di dalam teks. Artinya, sajak-sajak Fatah tidak tunduk pada realitas (objek) yang dibidik. Namun ia tidak mengancam atau membongkar objek, sehingga estetika pengucapannya tetap terjaga. Objek atau realitas seringkali tampil secara terpotong-potong. Sedangkan respon keperihan menjadi utuh secara visual. Inilah yang membuat sajak-sajak Fatah Yasin tidak menjadi “corong” objeknya, tapi lebih menjadi “corong” subjek yang pandai berdialek dengan objeknya sebagai tujuan sajak (intention). Penulisan liris dalam penciptaan sajak-sajaknya membuat visualisasi tentang keperihan terasa melingkupi. Tidak ragu. Hidup dan pada gilirannya menjebak ke dalam keheningan. Bergerak segenap dunia rekayasa yang dibangun dalam sajak-sajaknya. Atau, katakanlah, visualisasi tentang keperihan ini tidak diam dalam sajak, lazim disebut—dalam karya prosa—adalah peristwa bergerak (generation of circumtances).

Nampaknya, sajak-sajak Fatah Yasin Noor yang ditulisnya dalam periode tahun 90-an dibandingkan dengan produksi kreatifnya di tahun 2000-an ini tidak mengalami pergeseran. Memanglah layak bila Fatah telah menemukan “pohon jati” kepenyairannya.

Rata-rata sajak cinta yang terkumpul dalam antologi ini bukan keseluruhan sajak-sajak Fatah yang melimpah. Namun saya coba untuk mencomot sajak-sajak yang benar-benar dapat mengidentifikasikan kepenyairan Fatah Yasin. Rupanya—kerinduan dengan keperihan, cinta dengan keperihan, kepasrahan dengan keperihan, sunyi dengan keperihan—dalam sajak-sajak Fatah kental dengan nuansa keheningan (yang seperti ranjau menjebak di sana-sini), kemurungan, dan kegelisahan sebagaimana saya singgung di muka. Lihatlah:


Barangkali hanya desiran angin yang merindu

Engkau terus-menerus menjelma bianglala

Menciptakan kesepian yang menghitam dalam dadaku

Begitu jauh sudah perjalanan ini

Burung yang selalu menjeritkan kesia-siaan

Masih saja menangkap bayangmu

Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi


2001 (Fatah Yasin Noor, Orkestra Sunyi)


Sebuah kerinduan yang intensif, kesepian panjang, pengembaraan. Keperihan terungkap dengan: Burung yang selalu menjeritkan kesia-siaan. Dalam kodisi (situation of event) dalam sajak seperti ini, kita secara santai dihadapkan pada kelengangan sekaligus kemurungan yang menawarkan kepada kita untuk masuk dalam tahap kontemplatif akan makna kesetiaan atau intensitas cinta dan keheningan. Digambarkan dengan sederhana: Masih saja menangkap bayangmu/Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi. Aku lirik tetap tak kuasa menguak apa yang sebenarnya ada di dalam jiwanya. Sebuah keheningan dan permenungan yang luas dan sepi. Orkestra Sunyi juga memvisualkan kepasrahan di dalam kesunyian. Kemurungan-keperihan terasa begitu dalam ketika kefanaan hanya membawa kesia-siaan. Dan semua kesia-siaan yang dijeritkan Burung menggambarkan bahwa kesia-siaan adalah sayatan keperihan. Dan semua telah menjadi perjalanan empirik Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi.

Ah, Fatah Yasin Noor memang selalu mengajak pada kesenyapan yang diam-diam dan menjebak kedalam estetika hening permenungan. Ia seperti memasang ranjau-ranjau keheningan di setiap diksi dalam sajaknya. Lihatlah:


Kesetiaanmu pada laut berujung di cakrawala

Seperti hari yang terus menggagas hujan

Dan perjalanan senja merambah dinding rahasia

Kuning keperakan pada keningmu: Itulah tanda

Yang sekilas kutangkap untuk esok hari

Ketika pantai berkejaran dengan mataku


2001 (Fatah Yasin Noor, Gagasan Hujan)


Gila! Kesetiaanmu pada laut yang begitu dahsyat dan meledak-ledak disenyapkan oleh perjalanannya yang berujung di cakrawala. Waktu yang berjalan menumbuhkan rasa ingin kesejukan dengan hari yang terus menggagas hujan. Sebuah kerinduan. Sebuah impian dan harapan. Itulah yang termanifestasi dari cinta. Suatu cita-cita yang berkomunikasi dengan kesunyian dan permenungan dengan intens dan setia menggagas hujan.

Fatah, boleh jadi, hanya menulis dengan gaya visual keperihan, kegelisahan, kemurungan, kesepian. Hampir di dalam sajak-sajaknya tak terdapat model-model kontekstual. Saya pikir Fatah menulis hanya pakai rasa (feeling) an sich dan otak cukup sebagai pemantau saja. Namun begitu, ketika mengapresiasi karya-karya Fatah Yasin Noor kita menemukan potongan-potongan otak yang cerdas mengental dan berceceran. Sehingga memang tidak kaget jika Fatah Yasin Noor dikenal dengan merek “penyair intelektual” di Banyuwangi.

Demikianlah guntingan-guntingan peristiwa dan bertitik-titik keperihan dalam sajak-sajak Fatah Yasin Noor. Ayo, apa lagi yang bakal sampeyan tulis Bang Fatah?


Sunyi menampar


Atau hening yang menampar

Aku tak tahu


Lalu di sana berdiri gurun sepi

Menghadang

Dalam setiap jejak luka

Dan mungkin hanya labirin

Tempat akhir daun-daun

Yang mengering, yang menguning

Entah apa maknanya


September 1990 (Fatah Yasin Noor, Nokhta Biru)


Banyuwangi, 20 Mei 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar