Senin, 20 Juli 2009

Saja-sajak Taufiq Wr. Hidayat


LAHIR

Kesunyian sedemikian menggetarkan
Mengibarkan warna-warna jagat raya
Menjalani keniscayaan dari ketidakberhinggaan yang hampa

Ladang-ladang kerinduan
Menyampaikan harum tanah ke dalam kesunyian rahimmu
Menghendakkan aku lahir menyetubuh kefanaan

Ladang-ladang kesetiaanmu
Memastikan satu keutuhan abadi
Tak akan sirna
Lepas dari ruang dan waktu

Kau ajari aku bercocok tanam
Menanam kesabaran pada ladang-ladang
Menghitung helaian gerimis yang luruh pada senja hari
Memusykilkan waktu memusykilkan ruang

Di tepi segala pengasingan
Aku melambaikan kenangan kecil
Di tepi hutan
Di mana aku tersesat pada sehelai sungai
Dan suaramu menggema menguasai segala ruang kesejatian
“Ke mana kamu, wahai belahan jiwa?”
“Di dalam rimbun rindumu.”
Ibu.






















GEMBALA

Pada sebuah rumah
Puluhan kambing dan beberapa ekor bebek
Kau ajarkan padaku menggembalakan harapan
Menyeduh rindu saat senja bertamu

Pada pundakmu, setiap sunyi menjadi putih
Saat tak ada lagi kesombongan berdiri
Tak ada lagi embun jatuh tanpa sebatang pohon
Dan luka meneruskan diri dalam kecemasan

Dunia sebentuk ruang tunggu
Di situ setiap nafas menghisap bau kabel yang terbakar
Wajah-wajah muncul dari dalam kaca
Dengan segala kegamangan dengan segala ketidakutuhan

Aku lari ke atas bukit rindu yang setiap pagi
Selalu kau sirami dengan tanganmu
Hingga di situ aku telah meleleh bersama embun
Dan udara membawakan sehelai namamu
Ke dalam ketiadaanku































ANAK-ANAK YANG BERLARI

Pengembaraan cahaya pada semesta
Lampu-lampu lokomotif tua menyorot ke dalam dirinya sendiri,
Mentasbihkan sebentuk keredupan usia,
Menimang gelisah
Segala jawab menjadi gerombolan debu menghambur
Pada tiap keasingan yang kabur
Pada kesedihan yang lezat
Bersarang pada dinding-dinding kota
“Apakah kita akan ke pesta?”

Sejuta kunci dari pintu-pintu kesunyian
Mematahkan ruang yang tenggelam

Anak-anakmu berlari mengerubungi jaman
Hendak menemukan kesejatian
Di antara radio, tv, koran, monitor yang menyala senantiasa
Dan pada atap-atap Warnet
Yang tidak pernah berhenti
Meminumkan air matamu
Yang bertahun-tahun menetes ketika kau mengepel lantai rumah
Saat udara senja mulai terasa
Hingga petang
Yang gamang





























SAMUDERA SENJAKALA

Samudera senjakala redup cahaya. Rimbun
Rindumu menyemak di ladang-ladang air mataku. Akulah
Kehampaan yang ngejawantah, menjadi batang pohon
Tumbuh di tengah keramaian kota. Aku
Rindu rahimmu yang sunyi. Tenang sebagaimana perjamuan
Makan malam redup, pada batas segala persoalan
Yang tak memerlukan jawaban. Kesunyian samuderamu
Mengajariku melambai seperti kenangan kecil sebelum malam terpejam. Aku
Ngembara mencari yang tak pernah bisa ditemukan, tak pernah bisa dipersembahkan.










































AMBANG JUNI

Juni perlahan mengetuk daun jendelamu,
Begitu pelan. Udara dingin rebah pada kaca,
Pada sebuah musim yang bercerita
Mengenai pergulatan dalam tiap jenak,
Tiap denyut memanggil-manggil
Nama-nama agung dari kejauhan,
Dan rindumu sederhana

Diam-diam Juni membawa melati, pelan-pelan membisikkan
Tentang halaman rumah yang teduh, di mana kau hendak hidup dengan cerita
Mengenai hujan yang turun semalaman

Sebelum hawa tropika dengan lembut menyentuh hidungmu,
Rasakanlah Juni akan menguntum pada alismu

Masih sebentar lagi, bulan-bulan berjatuhan
Bersama butiran jarum jam di halaman yang kita rencanakan
Pada ambang segala kegelisahan

Dari balik jendela, pada ambang Juni yang diam-diam
Melepas kerinduan musim merahasiakan
Segala awal dari tiap pergulatan
Dan orang-orang masih menghitung butiran gerimis musykil dengan tangis
Pada segenap perjalanan ruang,
Pada tiap kuntum jam dindingmu
Yang membiru berdebu

Pada ambang Juni, kita masih meratap di balik kegelisahan
Dan segala kerinduan yang berdiam di tikungan

Langit perlahan terus melebar
Tanpa mengungkapkan kisah
Tentang teka teki sang penebang kayu yang mendesah

Kota hujan, dan Juni melambaikan udara
Sebelum ia duduk
Di kursi rumah kita

Muncar, 2009













RUANG EMPAT

Dalam ruang. Denyut nadi terdengar
Hingga keluar waktu. Yang terlemahkan,
Mendetakkan jantung perhelatan. Pulau
Dalam tidurku, menjelma wortel melampau warna. Air mata
Mengaliri langit, darah ikan-ikan, dan
Embun di sayap-sayap menggetar. Juni diam-diam
Menyulam lumut tua dalam relung hatiku yang mencekung di lubuk samuderamu.

Banyuwangi, 2009






































PERKOTAAN

Aku ingin kembali ke dalam rahimmu yang sunyi dan gelap.
Akulah yang tumbuh menjadi sebatang pohon di tengah-tengah kota.
Sehelai sungai mengalir dalam mataku,
Saat dinding-dinding jaman terbakar oleh hasratmu.

Muncar, 2009











































SEBALIK JENAK

Dari balik jendela petang hari,
anak-anak melintas pulang
bulan setengah
menggantung di atas sehelai sungai
sepi jalan tengah larut
sepotong senyum
bayangan memenuhi langit
meluas berjelajah waktu.

Semalaman yang hening, membuka kembali nyanyi musim
pada meja jagat
pelan-pelan rebah ke dalam segelas kopi
di tengah sepi.

2009


































SEJENAK

Kau mengarung lautan ketidakberhinggaan
Memantapkan tatap pada kaki langit senjakala.
“Ke mana, Tuan?” tanya sahabatnya.
“Ke tempat yang tak terjangkau kata
atau pantai yang tak menyediakan ruang bagi kepicikan.”

Di tengah segala kesemestaan
Sang tuan nahkoda
Merebah badan, menatap langit
Perginya tanpa pamit

2009





































SENJAKALA PARA PEMUJA

Dari balik ruang pada tahun-tahun yang sisa, laut menegaskan panggilan jauh seperti kesepian. Orang-orang berkerumun di tepi meja perjamuan, tak ingin disapa kala perjalanan usia. Sayap-sayap bergemetar, selampau lena mendera berderas-kemas pada batas yang melampau keras. Pesta bulan diselenggarakan dalam bangunan tua dengan tarian, pemujaan-pemujaan dan air mata di mangkuk cahaya, darah dan daging berbusuk puja, bergema menggagah abad-abad menggetar bersama golak bergelegar. Mereka bercanda bersama derita.

2009







































PANGGILAN

“Waktu sudah petang, anakku,” panggil seorang ibu.
Sang anak bermain,
Mengejar bola seperti waktu.
Pelan-pelan langit kesumba, turun senjakala,
Angin berdesing.

“Bergegaslah pulang pada ibu,” panggil ibunya.
Sang anak menoleh tangkas,
Namun ia tak mendapati sang ibu.
Hanya angin berpelan hembusan
Seperti kesepian yang panjang.

Malam menjelma ke dalam semesta.

2009



































MIMPI

Yang tertatih telah tua, wajahnya berkerut pada rumputan
Kakinya bergetar.

Melampau waktu kijang yang gesit,
Bersijingkat di tanah datar, natap tajam berserasa cerita
Pada sebentuk pertemuan kelam
Menderai kerindun.

Matahari yang itu-itu saja
Masih menyaksi sebuah jalan-jalan luka.

Muncar, 2009






































MENUJU SAMUDERA

Jarum-jarum arloji berguguran,
Pada musim hujan yang tak pasti.
Bulan ini, para pedagang ikan mengenakan
Jaket hitam di pasar ramai.

Tepian laut yang amis, ikan-ikan disiram hujan,
Ada ketidakberhinggaan diam-diam mengamat pasar.
Matamu tepaku pada ikan-ikan mati. Di situ
Anak dan cucumu dibesarkan gelombang.
Seekor ikan meledak di tengah jalan, orang-orang meramu rindu
Pada waktu yang berguguran dengan pasrah.

Laut berderu, berguruh langit senjakala.
Tahun ini gerimis begitu kurang,
Menghantam diam pada karang.
Kalian masih mengeja kecemasan,
Menyusupkan debu bergagah kata, mengurai makna yang luka.

Pada laut sepi, perahu-perahu tambat,
Orang-orang pulang di senjakala yang gamang.
Ikan-ikan didasarkan, beramis hidup menggairah,
Tapi masih berbenam dalam galau kata.

Ke mana Tuan akan berlayar?
Dipecah sunyi dengan segelas kopi,
Di mana hujan masih kembara.

Dari perkampungan di luar datang, pasar menjual ikan dan wortel,
Bayam dan kentang. Tuan menyiapkan sebentuk persembahan,
Bagi laut saat pantai masih memendam keengganan.
Dinding-dinding tua, malam turun pada tiap harap yang sidekap.
Kapal Tuan mengambang di tepian,
Di ditu jauh, gelombang membawakan jarum-jarum arloji
Gemetar hati.

Ke laut tak berpantau hingga,
Sekeranjang wortel masih dingin,
Di tengah pasar yang mulai ramai kembali.
Para pedagang menimbang gamang,
Dan embun membasah pada jendela kantor pemerintah.
Kantor urusan pelabuhan peninggalan Belanda,
Meja-meja berdebu, jendelanya basah dengan lara.

Kapan pulang, Tuan?
Jangan bertanya pulang
Sebab kepergian tak menjanjikan datang.

Hujan jatuh di atas samudera,
Senjakala tenggelam, petang berdatang.
Jaket hitam, celana hitam, selimut hitam,
Topi hitam, tatapan yang hitam.
Kapal kayu, mesin tua, kemudi renta,
Ruang tidur yang kosong, mata kail sepi.
Sebentar lagi ada panggilan laut,
Turun hujan pada lelampu redup.
Berharap cuaca, menunggu bulan dan tata bintang.
Berlayar dengan sepi. Atau dengan pengikut,
Yang jiwanya berlobang tak turut,
Karena samudera tanpa dinding tanpa tebing.

Samudera berluas,
Berlepas.
Maka segala beban kandas.
Segenap wajah hanya malang,
Setiap desah itu serah,
Tiap harap.
Gelap.

Tak mengaduh berkeluh darat,
Samudera ikan-ikan,
Kapal karam ke dasar ketakberhinggaan
Ke lubuk samudera,
Berlapang
Tenang
Pulang
Ke
Dalam

Muncar, 2009


































PELABUHAN TUA

Minyak dari tubuh Lemuru, berserak di jalan separuh aspalan.
Bumi padat. Diding tua warisan Belanda,
Beranda malam dan angin yang kejam.

Orang-orang bergumul dengan waktu,
Pada remang bergamang.

Kapal-kapal sandar, lelampu terus menyala seperti lelah.
Seorang penjaga kantor pemerintah
Melepas asap dari hidungnya,
Bertidur di lantai amis,
Dan malam terus berdiam dalam sapu tangan,
Rembulan kapar,
Pada ruang yang lapar.

Muncar, 2009




































RUANG TIGA

Ruang tak menemukan pasar; wortel dan bayam. Tawa-tawa liar, bau kaporit yang nyengat. Orang-orang dikumpul cinta yang diam-diam menyerbak dari sisa makanan tadi malam. Aku tiba-tiba menjelma laut, memenuhi ruang. Orang-orang naik perahu sambil bercanda bersama duka. Di kedalaman cintamu yang agung, aku bercekung mencipta lubuk. Lubuk kedalaman. Kedalaman tenang, duka suka tidak merasa. Baiklah akan mereka mulai dari mana perjalanan samudera ruang. Tak ada sabda. Dari yang abadi berlayar pada keabadian.

Rogojampi, 2009











































PARA PENUNGGU KERETA

Inilah perjalanan yang menggetarkan, langit dan lautan, budak waktu dan kesunyian. Di tengah kehendak ruang, orang-orang menyiapkan perbekalan, ransel besar dan berat, sepatu dan jaket hitam yang tebal. Dan terus melintas pada tiap batas yang tak pernah menegas.

Kota-kota diserbu kecemasan. Ribuan gajah memasuki kota, bergerak maju entah ke mana tuju-maksudnya. Toko-toko ditabrak, rumah-rumah dilantakkan, semua diratakan. Lalu ribuan gajah menghilang tiba-tiba, yang tersisa adalah sunyi dan puing-puing berleleran tak tertata. Orang-orang mematung, wajahnya dingin menunggu. Stasiun kereta api sepi. Bangku-bangku biru. Jam tua mendetakkan detik-detik yang lelah. Kisah para penunggu kereta, berabad sunyi memecahkan jendela-jendela.

Sebuah pintu model kolonial berdiri di depan tatapan, surat-surat perjalanan tertumpuk di dalam laci di kepalamu. Orang-orang cemas mengharap keajaiban, dan waktu mencair ke tempat-tempat yang tak dimengerti.

Lalu lintas udara menyesakkan paru-paru manusia, laler berkerumun pada tiap kebusukan yang terluka hari dalam jantungmu. Orang-orang menabur tanda tanya ke atas lantai keramik putih dan dingin. Bangku-bangku tua memasang diri di tengah kesepian yang mati, lumut-lumut bersemak oleh kelembaban udara dari mulut-mulut para penunggu. Kereta teronggok lena, kesabaran dalam hati tak mungkin lebih dalam lagi, mata-mata tajam dan waspada. Gajah-gajah entah sudah lari hilang ke mana. Keriuhan tertinggal dalam kenangan dan bau rambut yang terbakar lengket dalam ingatan tiap orang.

Langit hitam, mendung hitam, udara yang kejam. Para pencuri masih lelah juga, berkomplot dengan malam berganti warna, berganti ruang dan malapetaka. Stasiun penuh. Tiap sosok adalah patung yang tidak sempurna. Kecemasan lalu berjelma ketakutan mengeram di dalam dada. Kepala-kepala benjol bekas benturan keras. Stasiun penuh, sosok-sosok padat, hingga berjubal-jubal sampai keluar ruangan. Langit luka. Darah mengering. Hukum mendasari kakus yang panjang. Undang-undang mengelap meja makan. Orang-orang bisu, tangannya batu, matanya beku, mulut-mulut melepuh.

Kanak-kanak tergeletak kehabisan tenaga, kereta tak memunculkan tanda untuk mengular ke cakrawala. Pintu-pintu rumah tertutup senantiasa, jendela-jendela pecah, dan air mata menggenang di selokan kota. Burung gagak mengintai, seolah isyarat gajah-gajah hendak tiba lagi. Gerombolan gajah purba akan datang lagi, menabrak manusia dan janji-janji. Orang-orang ketakutan menjadi iman, melerai segala kesadaran. Orang-orang panik saling sapa tanpa kata. Darah mewarnai udara, menjelaskan kegelisahan yang tak menemukan bahan air mata. Jendral-jendral gajah berkuasa lagi, bagaimana nasib padi?

2009






















SIUL PASAR KECIL

Ikan-ikan segar dini hari.
hari-hari, pun yang tak pernah berhenti,
menyuap kehilangan dan pergantian
pada kemesraan pasarmu,
yang diam-diam mengeluarkan sayur-mayur
dari keranjang.
Wortel dan bayam telah tumbuh
dalam kebun kesibukannmu
yang melengkung tenang.
Lalu ribuan lebah menunggu dengan sabar,
untuk meneguk manis tatapanmu
yang berkejaran di dingin bulan





































BURUNG MALAM

Beburung yang tidur di pohon-pohon itu,
terjaring dini hari yang gelap.
Pada jalan yang dingin dan gagasan
tak menagih angin.
Orang-orang menanyakan janji kemarin hari,
ruang memojok di siku waktu.
Harapan-harapan tak menganak sungai.
Kekuasaan begitu mencekam di saat malam.
Melindas rambut yang terbakar sampah.
Kekejaman tanpa buku sekolah,
keserakahan tak mengandung bocah,
dan kegarangan tanpa warna.
Aku menyudutkan luka pada segenap luka
pada kecemasan jiwa yang bunting tua



































PADA SEBUAH PELABUHAN

Kadang-kadang angin sudah
membawakan harum tubuh seseorang,
Bersetubuh dengan sepi pada malam hari.
Tiap siang juga perahu.
Segelas minuman di tepi laut, di bawah pohon waru,
daun-daunya jatuh kekuningan di mana
usia serta memungutinya.

Pelabuhan, perahu-perahu menepi dari kembara
menjaring ikan, penguripan yang tak terbantah
lalu diam-diam kita menghitung duka
seperti membersihkan daging semangka dari biji-bijinya.
Kita pun tak sadar, tiap kata
meminta pulsa, lantas kita bercanda
dengan derita











































SANG PENJAGA

Suatu masa, bahwa yang ada adalah tanggungjawab dalam tatapannya.
Suatu ruang, di mana ia harus mengalah pada malam hari.
Suatu keniscayaan bahwa ia musti menegakkan kakinya menghadapi orang-orang yang gemetar.

Warna malam bertukar cerita,
tapi ia tak pernah menggetarkan dadanya untuk menegas
segala luka di dalam hatinya.

Dengan sunyi ia tenggelam
dengan lemah ia tak berkawan
dengan diam ia menyatu
dengan kuat ia tak berburu
dengan ajakan ia sendiri
dengan cinta ia maknai

2009










































PULANG

Dia adalah kantuk bangku lokomotif.
Senjakala. Ada tiba. Dan sepi berkali-kali.
Dia adalah butir mata duan akasia.
Seperti rindu. Berderu. Lokomotif tua,
keluar masuk di matamu, dan
suara-suara menata dari dalam dadanya.
Halaman, maaf, ayam jantan. Dia jatuh
di lantai. Seperti senja. Lengang. Ambang.
Hilang.
Kekal.

Muncar, 30 September 2008-Juli 2009














































KEMARAU

Kembali kemarau
balok-balok pikiran menyusun segala parau
nafas Jibril rambut-rambut gelombang
menyiku rindu yang bimbang.
Salam yang takberhingga
nyambut duka.
Hara. Dan usia

2008

















































BERJENAK

Sepotong daging dingin
pada jendela bertiup angin
membisikkan nama-nama dari waktu

Demi ruang yang menyusun bangku kereta
kesunyian purba
orang-orang membuat luka dalam hujan
pada cekungan jalan

Pun luka ngembun kata

Terbelah samudera oleh tongkatmu
segala cerita
biru

2007










































MUSIM

Angin hari ini kurang bersahabat.
Bumi. Relung yang jauh.
Berpeluk gamang.
Kemudian gelombang.
Menumbuk kecemasan
di cekung waktu yang berburu.

Tertusuklah duka
pada ujung tombakmu
berdebu

2007














































YANG TERUS BERGEGAS

Sejenak. Biografimu terkubur dalam iklan.
Daun-daun masa tumbuh, bercerita matahari pagi.
Sayur bayam, bawang putih, dan waktu yang terbata.
Sekilas. Ruang membawa bunga berdekap lalu. Sejarah.
Dan perjalananmu berhenti di dinding asing.

Hujan bergegas di kotamu. Kecemasan memercik jendela.
Orang-orang bertanya; kenapa Tuhan meninggalkannya.
Sunyi dan pinta bermakam di meja pengadilan,
Pada rahang para hakim yang sibuk dengan putusan.
Sisa basah di lehermu menyimpul tanya.

Hendak ke mana, Tuanku?
Lorong-lorong tua menghadang.
Keyakinan Paduka tumpas.
Dari yang terus bergegas tanpa berbekas

2007








































LAUT DALAM LUBUKMU

Matamu tak selesai menerima kapal-kapal sandar
dalam pelabuhan di dadamu
hingga batas malam kota-kota dilelapkan

Lautan di jantungmu tak selesai
mengeja segala kepergian dan kesunyian
sampai murung menyentuh. Dini hari

Kapal-kapal tanpa penumpang labuh
dalam dukamu. Kecemasan berseru
ketertinggalan yang terasing. Begitu terasing

Orang-orang menggali batu-batu karang
dari kedalaman lautan. Rahang-rahang gelombang
kelopak-kelopak waktu yang layu. Purba dalam matamu

Lemak dalam tubuhmu meminta kehangatan dari segala pelayaran.
Dari seluruh perjalanan yang melelahkan.
Kebanggaan terkubur dalam naifnya ruang,
di situ anak cucumu mengeluh. Pada waktu
yang berkeluh selalu

2007



































BERHARI

Seperti ada embun
yang membias pada jendelamu
rumah tua yang sepi
saat hari-hari kehilangan hati
kau menulis kegelisahan
pada dini hari yang gamang

Dari aroma percakapan
sebentuk bunga di pekarangan malam
tentang yang tak menegas
dari kecemasan dan kesia-siaan
bersiap pada kekalahan
atau telah jatuh ke dalam dasar
kau mencari-cari
sampai malam hampir pergi

2009









































KRONOLOGI MALAM

Ada mata diredup cahaya,
mengurai hening yang tumbuh dari belukar bunga.
Sunyi lecet dalam luka.
Menafsir angka dan tetesan makna,
yang terperangkap tanda.
Kita masih terus berdiskusi.
Lokomotif tua tersesat dalam usia.
Musykil hujan menjarumi bumi.
Masih siapa menimbang arah.
Dan tertawa bersama derita.

Banyuwangi, 2009