Cerpen Taufiq Wr. Hidayat
“Pada sebuah tepi,” demikian kau awali sebuah ceritamu kepadaku.“Pada sebuah tepi yang apa?” begitu aku bertanya.
“Pada sebuah tepi laut. Lautan yang mengisahkan tentang sebuah bukit kecil ketujuh yang ditumbuhi pohonan. Pohonan yang tidak pernah terjamah,” katamu sembari menari. Kau melompat-lompat. Agresif. Namun tak menyimpan kegarangan. Daging-daging dari tubuhmu yang gembur rontok ke tanah. Udara dingin. Angin lautan yang terkadang kencang pada sebuah perkampungan tepi laut membawamu terbang.
Kereta api yang bertahun-tahun karatan seolah tak pernah mengabarkan kapan ia akan berangkat. Langit ungu. Bulan separuh. Orang-orang membiru.
Kau masih di situ, menunggu dering dari sebuah wartel yang atapnya berlumut. Sedangkan berita mengenai kampungmu masih terngiang dibawa jerit burung gereja yang lapar. Tentang kampung kelahiran yang diam-diam digadaikan kepada pihak penambang dari pusat. Konon, ikan-ikan dalam mimpimu berenang ke tepi laut, mereka merindukan muara, air tawar untuk sejenak memandikan tubuhnya yang tak akan pernah asin dalam lautan air biru itu. Kau terbangun mendadak. Malam. Dan jam tua mendentangkan waktu yang kembali menyusun bangku-bangku kereta. Ikan-ikan melompat dari dalam kepalamu. Bau hangus kabel yang terbakar menyengat hidungmu dan hidungku.
“Masih dingin dan hujan tak membawa berita tentang cuaca dari tepi hutan,” katamu.
“Tapi, orang-orang masih berkomplot di tikungan. Topinya topi hujan. Jas hujan yang menyala. Dan di sebuah ruang ada yang menawarkan kehangatan, yakni tubuh yang segar serta daging yang ranum. Atau segelas jahe untuk melegakan tenggorokan, atau secangkir wiski yang panas,” kataku tak mengerti.
***
Seorang pejabat mengenakan jam tangan dari emas. Tubuhnya yang bergula seolah becek dan berjatuhan ke lantai. Rapat belum dimulai. Orang yang di tepi jalan itu mengamati dari balik jendela mobil hitam yang kacanya hitam. Ia mengawasi gedung pemerintah dengan tatapan seolah tak berkedip. Hujan masih turun dengan leluasa tanpa menandakan kapan akan berhenti.
Kau masih menari. Daging-daging tubuhmu yang gembur jatuh ke tanah. Kau terus menari seolah kesurupan bagai penari Seblang yang merayakan syukur akan melimpahnya hasil-hasil pertanian. Padahal di saat fajar, orang-orang juga merayakan upacara kematian dengan tarian dengan nyanyian dengan pesta makan dengan seks. Ya. Puncak segala kemegahan adalah seks. Mereka memburu itu. Menduduki kekuasaan, menggali kekayaan, mengukir nama dan keluarga, menggali emas dan menghabisi manusia, tak lain demi puncak kemegahan. Tapi, kau masih terus menari. Menari. Menari. Tertawa lalu meneguk secangkir anggur. Tubuhmu yang becek bergetar-getar lalu rontok, luruh ke bumi. Bumi yang penah menampung kelahiranmu.
“Aku harus pulang,” katamu.
“Ke mana?” tanyaku.
“Pulang ke tepi.”
“Tepi yang mana?”
“Tepi laut. Harum rambut yang terbakar dan harum kabel yang panas membuatku bergairah untuk kembali melayani kegarangan para binatang.”
“Siapa orang-orang itu?”
“Orang-orang itu.”
“Siapa?”
“Orang-orang itu. Orang-orang yang menanam emas di kepalanya.”
Langit hitam. Mendung bergerak pelan-pelan. Hujan mengalir. Seorang tua di tepi jalan, tertatih memikul kecemasan. Asap tembakau mengepul dari sebuah warung. Dan rapat belum dimulai. Sedangkan di luar, seorang lelaki mencurigakan mengawasi gedung pemerintah dari balik kaca mobilnya dengan seksama.
“Kapan rapat dimulai?” tanya seorang lelaki yang bergigi emas.
“Belum. Rapat belum dimulai. Belum,” jawab wanita bertubuh gembur dan mengenakan gelang emas di lengannya.
“Kapan?”
“Sebentar!”
“Segera! Tidak ada waktu lagi! Birahi tidak mungkin ditangguhkan lebih lama lagi, Bu!” ujar lelaki berambut putih dan giginya besar-besar seperti kapak.
“Sabarlah.”
“Baik.”
“Nah.”
“Jangan lama.”
“Tentu.”
Jalanan basah. Hujan terus mengalir. Sedang kau belum selesai menari. Kali ini ada air mata yang ikut mengalir dari kedua tepi matamu.
“Aku akan ke tepi,” kataku padamu.
“Ke tepi mana?” tanyamu.
“Ke tepi matamu.”
“Oh.”
“Ya.”
Jalanan basah. Lampu-lampu gemigil dihajar hujan. Asap tembakau mengepul ke jalanan. Bau parfum dan harum emas yang baru matang.
“Mari melakukan perjalanan,” katamu sambil terus menari.
“Perjalanan?”
“Ya. Sebelum segalanya terlibat dan sebelum segalanya meminta syarat dari waktu yang sekarat dan ruang yang karat. Ayo! Kita lakukan perjalanan.”
“Ke mana?”
“Ke tepi laut. Tepi dari segala tepian yang kehilangan perahu dan ikan.”
Kulihat ikan-ikan berlompatan dari dalam kepalamu. Bau kabel terbakar makin menusuk ke dalam hidungku. Tapi, kereta api malam hari yang belum juga berangkat masih kulihat tergeletak di dalam matamu. Bau amis darah. Darah dari ikan-ikan. Kau tiba-tiba berhenti menari. Diam. Mematung. Daging-daging dari tubuhmu terus berjatuhan makin cepat ke tanah. Rontok. Terus rontok. Namun, seolah daging dari tubuhmu yang becek dan gembur itu tak pernah habis disedot gravitasi bumi. Tiba-tiba kau melompat. Melompat ke dalam laut. Sampai ke dasar laut. Kau menari di situ. Di dasar laut itu.
“Rapat sudah dimulai. Kebijakan negara segera ditetapkan.”
“Bagus.”
Dan orang yang di tepi jalan hujan itu, mengawasi dengan teliti semakin geram semakin sakit hati semakin marah semakin marah semakin marah dari balik kaca jendela mobil hitam.
Dan kau terus menari. Menari di dasar lautan. Dagingmu melecuh dan lecet digerogoti air laut. Tubuhmu menjadi putih. Ya. Air laut. Dan ikan-ikan berenang di dalam kepalamu.
Banyuwangi, 2009
Biodata Penulis
Taufiq Wr. Hidayat, lahir di Banyuwangi. Menulis puisi, esai, dan cerpen di sejumlah media massa lokal dan nasional. Sajak, esai dan cerpennya pernah dimuat di Kompas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Ge-M, Jejak, dll. Sejumlah puisinya telah dibukukan dalam kumpulan sajak tunggalnya berjudul "Suluk Rindu" (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman, 2005). Kumpulan esai dan prosanya berjudul "Banyuwangi Senjakala dalam Kecemasan" (Katarsis, 2005) dan "Kekuasaan dan Kekuatan Rakyat" (Katarsis, 2006). Kini tinggal di Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar