Senin, 20 Juli 2009

Saja-sajak Taufiq Wr. Hidayat


LAHIR

Kesunyian sedemikian menggetarkan
Mengibarkan warna-warna jagat raya
Menjalani keniscayaan dari ketidakberhinggaan yang hampa

Ladang-ladang kerinduan
Menyampaikan harum tanah ke dalam kesunyian rahimmu
Menghendakkan aku lahir menyetubuh kefanaan

Ladang-ladang kesetiaanmu
Memastikan satu keutuhan abadi
Tak akan sirna
Lepas dari ruang dan waktu

Kau ajari aku bercocok tanam
Menanam kesabaran pada ladang-ladang
Menghitung helaian gerimis yang luruh pada senja hari
Memusykilkan waktu memusykilkan ruang

Di tepi segala pengasingan
Aku melambaikan kenangan kecil
Di tepi hutan
Di mana aku tersesat pada sehelai sungai
Dan suaramu menggema menguasai segala ruang kesejatian
“Ke mana kamu, wahai belahan jiwa?”
“Di dalam rimbun rindumu.”
Ibu.






















GEMBALA

Pada sebuah rumah
Puluhan kambing dan beberapa ekor bebek
Kau ajarkan padaku menggembalakan harapan
Menyeduh rindu saat senja bertamu

Pada pundakmu, setiap sunyi menjadi putih
Saat tak ada lagi kesombongan berdiri
Tak ada lagi embun jatuh tanpa sebatang pohon
Dan luka meneruskan diri dalam kecemasan

Dunia sebentuk ruang tunggu
Di situ setiap nafas menghisap bau kabel yang terbakar
Wajah-wajah muncul dari dalam kaca
Dengan segala kegamangan dengan segala ketidakutuhan

Aku lari ke atas bukit rindu yang setiap pagi
Selalu kau sirami dengan tanganmu
Hingga di situ aku telah meleleh bersama embun
Dan udara membawakan sehelai namamu
Ke dalam ketiadaanku































ANAK-ANAK YANG BERLARI

Pengembaraan cahaya pada semesta
Lampu-lampu lokomotif tua menyorot ke dalam dirinya sendiri,
Mentasbihkan sebentuk keredupan usia,
Menimang gelisah
Segala jawab menjadi gerombolan debu menghambur
Pada tiap keasingan yang kabur
Pada kesedihan yang lezat
Bersarang pada dinding-dinding kota
“Apakah kita akan ke pesta?”

Sejuta kunci dari pintu-pintu kesunyian
Mematahkan ruang yang tenggelam

Anak-anakmu berlari mengerubungi jaman
Hendak menemukan kesejatian
Di antara radio, tv, koran, monitor yang menyala senantiasa
Dan pada atap-atap Warnet
Yang tidak pernah berhenti
Meminumkan air matamu
Yang bertahun-tahun menetes ketika kau mengepel lantai rumah
Saat udara senja mulai terasa
Hingga petang
Yang gamang





























SAMUDERA SENJAKALA

Samudera senjakala redup cahaya. Rimbun
Rindumu menyemak di ladang-ladang air mataku. Akulah
Kehampaan yang ngejawantah, menjadi batang pohon
Tumbuh di tengah keramaian kota. Aku
Rindu rahimmu yang sunyi. Tenang sebagaimana perjamuan
Makan malam redup, pada batas segala persoalan
Yang tak memerlukan jawaban. Kesunyian samuderamu
Mengajariku melambai seperti kenangan kecil sebelum malam terpejam. Aku
Ngembara mencari yang tak pernah bisa ditemukan, tak pernah bisa dipersembahkan.










































AMBANG JUNI

Juni perlahan mengetuk daun jendelamu,
Begitu pelan. Udara dingin rebah pada kaca,
Pada sebuah musim yang bercerita
Mengenai pergulatan dalam tiap jenak,
Tiap denyut memanggil-manggil
Nama-nama agung dari kejauhan,
Dan rindumu sederhana

Diam-diam Juni membawa melati, pelan-pelan membisikkan
Tentang halaman rumah yang teduh, di mana kau hendak hidup dengan cerita
Mengenai hujan yang turun semalaman

Sebelum hawa tropika dengan lembut menyentuh hidungmu,
Rasakanlah Juni akan menguntum pada alismu

Masih sebentar lagi, bulan-bulan berjatuhan
Bersama butiran jarum jam di halaman yang kita rencanakan
Pada ambang segala kegelisahan

Dari balik jendela, pada ambang Juni yang diam-diam
Melepas kerinduan musim merahasiakan
Segala awal dari tiap pergulatan
Dan orang-orang masih menghitung butiran gerimis musykil dengan tangis
Pada segenap perjalanan ruang,
Pada tiap kuntum jam dindingmu
Yang membiru berdebu

Pada ambang Juni, kita masih meratap di balik kegelisahan
Dan segala kerinduan yang berdiam di tikungan

Langit perlahan terus melebar
Tanpa mengungkapkan kisah
Tentang teka teki sang penebang kayu yang mendesah

Kota hujan, dan Juni melambaikan udara
Sebelum ia duduk
Di kursi rumah kita

Muncar, 2009













RUANG EMPAT

Dalam ruang. Denyut nadi terdengar
Hingga keluar waktu. Yang terlemahkan,
Mendetakkan jantung perhelatan. Pulau
Dalam tidurku, menjelma wortel melampau warna. Air mata
Mengaliri langit, darah ikan-ikan, dan
Embun di sayap-sayap menggetar. Juni diam-diam
Menyulam lumut tua dalam relung hatiku yang mencekung di lubuk samuderamu.

Banyuwangi, 2009






































PERKOTAAN

Aku ingin kembali ke dalam rahimmu yang sunyi dan gelap.
Akulah yang tumbuh menjadi sebatang pohon di tengah-tengah kota.
Sehelai sungai mengalir dalam mataku,
Saat dinding-dinding jaman terbakar oleh hasratmu.

Muncar, 2009











































SEBALIK JENAK

Dari balik jendela petang hari,
anak-anak melintas pulang
bulan setengah
menggantung di atas sehelai sungai
sepi jalan tengah larut
sepotong senyum
bayangan memenuhi langit
meluas berjelajah waktu.

Semalaman yang hening, membuka kembali nyanyi musim
pada meja jagat
pelan-pelan rebah ke dalam segelas kopi
di tengah sepi.

2009


































SEJENAK

Kau mengarung lautan ketidakberhinggaan
Memantapkan tatap pada kaki langit senjakala.
“Ke mana, Tuan?” tanya sahabatnya.
“Ke tempat yang tak terjangkau kata
atau pantai yang tak menyediakan ruang bagi kepicikan.”

Di tengah segala kesemestaan
Sang tuan nahkoda
Merebah badan, menatap langit
Perginya tanpa pamit

2009





































SENJAKALA PARA PEMUJA

Dari balik ruang pada tahun-tahun yang sisa, laut menegaskan panggilan jauh seperti kesepian. Orang-orang berkerumun di tepi meja perjamuan, tak ingin disapa kala perjalanan usia. Sayap-sayap bergemetar, selampau lena mendera berderas-kemas pada batas yang melampau keras. Pesta bulan diselenggarakan dalam bangunan tua dengan tarian, pemujaan-pemujaan dan air mata di mangkuk cahaya, darah dan daging berbusuk puja, bergema menggagah abad-abad menggetar bersama golak bergelegar. Mereka bercanda bersama derita.

2009







































PANGGILAN

“Waktu sudah petang, anakku,” panggil seorang ibu.
Sang anak bermain,
Mengejar bola seperti waktu.
Pelan-pelan langit kesumba, turun senjakala,
Angin berdesing.

“Bergegaslah pulang pada ibu,” panggil ibunya.
Sang anak menoleh tangkas,
Namun ia tak mendapati sang ibu.
Hanya angin berpelan hembusan
Seperti kesepian yang panjang.

Malam menjelma ke dalam semesta.

2009



































MIMPI

Yang tertatih telah tua, wajahnya berkerut pada rumputan
Kakinya bergetar.

Melampau waktu kijang yang gesit,
Bersijingkat di tanah datar, natap tajam berserasa cerita
Pada sebentuk pertemuan kelam
Menderai kerindun.

Matahari yang itu-itu saja
Masih menyaksi sebuah jalan-jalan luka.

Muncar, 2009






































MENUJU SAMUDERA

Jarum-jarum arloji berguguran,
Pada musim hujan yang tak pasti.
Bulan ini, para pedagang ikan mengenakan
Jaket hitam di pasar ramai.

Tepian laut yang amis, ikan-ikan disiram hujan,
Ada ketidakberhinggaan diam-diam mengamat pasar.
Matamu tepaku pada ikan-ikan mati. Di situ
Anak dan cucumu dibesarkan gelombang.
Seekor ikan meledak di tengah jalan, orang-orang meramu rindu
Pada waktu yang berguguran dengan pasrah.

Laut berderu, berguruh langit senjakala.
Tahun ini gerimis begitu kurang,
Menghantam diam pada karang.
Kalian masih mengeja kecemasan,
Menyusupkan debu bergagah kata, mengurai makna yang luka.

Pada laut sepi, perahu-perahu tambat,
Orang-orang pulang di senjakala yang gamang.
Ikan-ikan didasarkan, beramis hidup menggairah,
Tapi masih berbenam dalam galau kata.

Ke mana Tuan akan berlayar?
Dipecah sunyi dengan segelas kopi,
Di mana hujan masih kembara.

Dari perkampungan di luar datang, pasar menjual ikan dan wortel,
Bayam dan kentang. Tuan menyiapkan sebentuk persembahan,
Bagi laut saat pantai masih memendam keengganan.
Dinding-dinding tua, malam turun pada tiap harap yang sidekap.
Kapal Tuan mengambang di tepian,
Di ditu jauh, gelombang membawakan jarum-jarum arloji
Gemetar hati.

Ke laut tak berpantau hingga,
Sekeranjang wortel masih dingin,
Di tengah pasar yang mulai ramai kembali.
Para pedagang menimbang gamang,
Dan embun membasah pada jendela kantor pemerintah.
Kantor urusan pelabuhan peninggalan Belanda,
Meja-meja berdebu, jendelanya basah dengan lara.

Kapan pulang, Tuan?
Jangan bertanya pulang
Sebab kepergian tak menjanjikan datang.

Hujan jatuh di atas samudera,
Senjakala tenggelam, petang berdatang.
Jaket hitam, celana hitam, selimut hitam,
Topi hitam, tatapan yang hitam.
Kapal kayu, mesin tua, kemudi renta,
Ruang tidur yang kosong, mata kail sepi.
Sebentar lagi ada panggilan laut,
Turun hujan pada lelampu redup.
Berharap cuaca, menunggu bulan dan tata bintang.
Berlayar dengan sepi. Atau dengan pengikut,
Yang jiwanya berlobang tak turut,
Karena samudera tanpa dinding tanpa tebing.

Samudera berluas,
Berlepas.
Maka segala beban kandas.
Segenap wajah hanya malang,
Setiap desah itu serah,
Tiap harap.
Gelap.

Tak mengaduh berkeluh darat,
Samudera ikan-ikan,
Kapal karam ke dasar ketakberhinggaan
Ke lubuk samudera,
Berlapang
Tenang
Pulang
Ke
Dalam

Muncar, 2009


































PELABUHAN TUA

Minyak dari tubuh Lemuru, berserak di jalan separuh aspalan.
Bumi padat. Diding tua warisan Belanda,
Beranda malam dan angin yang kejam.

Orang-orang bergumul dengan waktu,
Pada remang bergamang.

Kapal-kapal sandar, lelampu terus menyala seperti lelah.
Seorang penjaga kantor pemerintah
Melepas asap dari hidungnya,
Bertidur di lantai amis,
Dan malam terus berdiam dalam sapu tangan,
Rembulan kapar,
Pada ruang yang lapar.

Muncar, 2009




































RUANG TIGA

Ruang tak menemukan pasar; wortel dan bayam. Tawa-tawa liar, bau kaporit yang nyengat. Orang-orang dikumpul cinta yang diam-diam menyerbak dari sisa makanan tadi malam. Aku tiba-tiba menjelma laut, memenuhi ruang. Orang-orang naik perahu sambil bercanda bersama duka. Di kedalaman cintamu yang agung, aku bercekung mencipta lubuk. Lubuk kedalaman. Kedalaman tenang, duka suka tidak merasa. Baiklah akan mereka mulai dari mana perjalanan samudera ruang. Tak ada sabda. Dari yang abadi berlayar pada keabadian.

Rogojampi, 2009











































PARA PENUNGGU KERETA

Inilah perjalanan yang menggetarkan, langit dan lautan, budak waktu dan kesunyian. Di tengah kehendak ruang, orang-orang menyiapkan perbekalan, ransel besar dan berat, sepatu dan jaket hitam yang tebal. Dan terus melintas pada tiap batas yang tak pernah menegas.

Kota-kota diserbu kecemasan. Ribuan gajah memasuki kota, bergerak maju entah ke mana tuju-maksudnya. Toko-toko ditabrak, rumah-rumah dilantakkan, semua diratakan. Lalu ribuan gajah menghilang tiba-tiba, yang tersisa adalah sunyi dan puing-puing berleleran tak tertata. Orang-orang mematung, wajahnya dingin menunggu. Stasiun kereta api sepi. Bangku-bangku biru. Jam tua mendetakkan detik-detik yang lelah. Kisah para penunggu kereta, berabad sunyi memecahkan jendela-jendela.

Sebuah pintu model kolonial berdiri di depan tatapan, surat-surat perjalanan tertumpuk di dalam laci di kepalamu. Orang-orang cemas mengharap keajaiban, dan waktu mencair ke tempat-tempat yang tak dimengerti.

Lalu lintas udara menyesakkan paru-paru manusia, laler berkerumun pada tiap kebusukan yang terluka hari dalam jantungmu. Orang-orang menabur tanda tanya ke atas lantai keramik putih dan dingin. Bangku-bangku tua memasang diri di tengah kesepian yang mati, lumut-lumut bersemak oleh kelembaban udara dari mulut-mulut para penunggu. Kereta teronggok lena, kesabaran dalam hati tak mungkin lebih dalam lagi, mata-mata tajam dan waspada. Gajah-gajah entah sudah lari hilang ke mana. Keriuhan tertinggal dalam kenangan dan bau rambut yang terbakar lengket dalam ingatan tiap orang.

Langit hitam, mendung hitam, udara yang kejam. Para pencuri masih lelah juga, berkomplot dengan malam berganti warna, berganti ruang dan malapetaka. Stasiun penuh. Tiap sosok adalah patung yang tidak sempurna. Kecemasan lalu berjelma ketakutan mengeram di dalam dada. Kepala-kepala benjol bekas benturan keras. Stasiun penuh, sosok-sosok padat, hingga berjubal-jubal sampai keluar ruangan. Langit luka. Darah mengering. Hukum mendasari kakus yang panjang. Undang-undang mengelap meja makan. Orang-orang bisu, tangannya batu, matanya beku, mulut-mulut melepuh.

Kanak-kanak tergeletak kehabisan tenaga, kereta tak memunculkan tanda untuk mengular ke cakrawala. Pintu-pintu rumah tertutup senantiasa, jendela-jendela pecah, dan air mata menggenang di selokan kota. Burung gagak mengintai, seolah isyarat gajah-gajah hendak tiba lagi. Gerombolan gajah purba akan datang lagi, menabrak manusia dan janji-janji. Orang-orang ketakutan menjadi iman, melerai segala kesadaran. Orang-orang panik saling sapa tanpa kata. Darah mewarnai udara, menjelaskan kegelisahan yang tak menemukan bahan air mata. Jendral-jendral gajah berkuasa lagi, bagaimana nasib padi?

2009






















SIUL PASAR KECIL

Ikan-ikan segar dini hari.
hari-hari, pun yang tak pernah berhenti,
menyuap kehilangan dan pergantian
pada kemesraan pasarmu,
yang diam-diam mengeluarkan sayur-mayur
dari keranjang.
Wortel dan bayam telah tumbuh
dalam kebun kesibukannmu
yang melengkung tenang.
Lalu ribuan lebah menunggu dengan sabar,
untuk meneguk manis tatapanmu
yang berkejaran di dingin bulan





































BURUNG MALAM

Beburung yang tidur di pohon-pohon itu,
terjaring dini hari yang gelap.
Pada jalan yang dingin dan gagasan
tak menagih angin.
Orang-orang menanyakan janji kemarin hari,
ruang memojok di siku waktu.
Harapan-harapan tak menganak sungai.
Kekuasaan begitu mencekam di saat malam.
Melindas rambut yang terbakar sampah.
Kekejaman tanpa buku sekolah,
keserakahan tak mengandung bocah,
dan kegarangan tanpa warna.
Aku menyudutkan luka pada segenap luka
pada kecemasan jiwa yang bunting tua



































PADA SEBUAH PELABUHAN

Kadang-kadang angin sudah
membawakan harum tubuh seseorang,
Bersetubuh dengan sepi pada malam hari.
Tiap siang juga perahu.
Segelas minuman di tepi laut, di bawah pohon waru,
daun-daunya jatuh kekuningan di mana
usia serta memungutinya.

Pelabuhan, perahu-perahu menepi dari kembara
menjaring ikan, penguripan yang tak terbantah
lalu diam-diam kita menghitung duka
seperti membersihkan daging semangka dari biji-bijinya.
Kita pun tak sadar, tiap kata
meminta pulsa, lantas kita bercanda
dengan derita











































SANG PENJAGA

Suatu masa, bahwa yang ada adalah tanggungjawab dalam tatapannya.
Suatu ruang, di mana ia harus mengalah pada malam hari.
Suatu keniscayaan bahwa ia musti menegakkan kakinya menghadapi orang-orang yang gemetar.

Warna malam bertukar cerita,
tapi ia tak pernah menggetarkan dadanya untuk menegas
segala luka di dalam hatinya.

Dengan sunyi ia tenggelam
dengan lemah ia tak berkawan
dengan diam ia menyatu
dengan kuat ia tak berburu
dengan ajakan ia sendiri
dengan cinta ia maknai

2009










































PULANG

Dia adalah kantuk bangku lokomotif.
Senjakala. Ada tiba. Dan sepi berkali-kali.
Dia adalah butir mata duan akasia.
Seperti rindu. Berderu. Lokomotif tua,
keluar masuk di matamu, dan
suara-suara menata dari dalam dadanya.
Halaman, maaf, ayam jantan. Dia jatuh
di lantai. Seperti senja. Lengang. Ambang.
Hilang.
Kekal.

Muncar, 30 September 2008-Juli 2009














































KEMARAU

Kembali kemarau
balok-balok pikiran menyusun segala parau
nafas Jibril rambut-rambut gelombang
menyiku rindu yang bimbang.
Salam yang takberhingga
nyambut duka.
Hara. Dan usia

2008

















































BERJENAK

Sepotong daging dingin
pada jendela bertiup angin
membisikkan nama-nama dari waktu

Demi ruang yang menyusun bangku kereta
kesunyian purba
orang-orang membuat luka dalam hujan
pada cekungan jalan

Pun luka ngembun kata

Terbelah samudera oleh tongkatmu
segala cerita
biru

2007










































MUSIM

Angin hari ini kurang bersahabat.
Bumi. Relung yang jauh.
Berpeluk gamang.
Kemudian gelombang.
Menumbuk kecemasan
di cekung waktu yang berburu.

Tertusuklah duka
pada ujung tombakmu
berdebu

2007














































YANG TERUS BERGEGAS

Sejenak. Biografimu terkubur dalam iklan.
Daun-daun masa tumbuh, bercerita matahari pagi.
Sayur bayam, bawang putih, dan waktu yang terbata.
Sekilas. Ruang membawa bunga berdekap lalu. Sejarah.
Dan perjalananmu berhenti di dinding asing.

Hujan bergegas di kotamu. Kecemasan memercik jendela.
Orang-orang bertanya; kenapa Tuhan meninggalkannya.
Sunyi dan pinta bermakam di meja pengadilan,
Pada rahang para hakim yang sibuk dengan putusan.
Sisa basah di lehermu menyimpul tanya.

Hendak ke mana, Tuanku?
Lorong-lorong tua menghadang.
Keyakinan Paduka tumpas.
Dari yang terus bergegas tanpa berbekas

2007








































LAUT DALAM LUBUKMU

Matamu tak selesai menerima kapal-kapal sandar
dalam pelabuhan di dadamu
hingga batas malam kota-kota dilelapkan

Lautan di jantungmu tak selesai
mengeja segala kepergian dan kesunyian
sampai murung menyentuh. Dini hari

Kapal-kapal tanpa penumpang labuh
dalam dukamu. Kecemasan berseru
ketertinggalan yang terasing. Begitu terasing

Orang-orang menggali batu-batu karang
dari kedalaman lautan. Rahang-rahang gelombang
kelopak-kelopak waktu yang layu. Purba dalam matamu

Lemak dalam tubuhmu meminta kehangatan dari segala pelayaran.
Dari seluruh perjalanan yang melelahkan.
Kebanggaan terkubur dalam naifnya ruang,
di situ anak cucumu mengeluh. Pada waktu
yang berkeluh selalu

2007



































BERHARI

Seperti ada embun
yang membias pada jendelamu
rumah tua yang sepi
saat hari-hari kehilangan hati
kau menulis kegelisahan
pada dini hari yang gamang

Dari aroma percakapan
sebentuk bunga di pekarangan malam
tentang yang tak menegas
dari kecemasan dan kesia-siaan
bersiap pada kekalahan
atau telah jatuh ke dalam dasar
kau mencari-cari
sampai malam hampir pergi

2009









































KRONOLOGI MALAM

Ada mata diredup cahaya,
mengurai hening yang tumbuh dari belukar bunga.
Sunyi lecet dalam luka.
Menafsir angka dan tetesan makna,
yang terperangkap tanda.
Kita masih terus berdiskusi.
Lokomotif tua tersesat dalam usia.
Musykil hujan menjarumi bumi.
Masih siapa menimbang arah.
Dan tertawa bersama derita.

Banyuwangi, 2009

Kamis, 28 Mei 2009

Visual Keperihan dalam Sajak-sajak Fatah Yasin Noor

Esai Taufiq Wr. Hidayat


Ketika seorang penyair telah mengelupasi seluruh kegelisahannya, maka terlahir dari jemarinya diksi-diksi menggugah tentang nama dari senenap nama kegelisahan. Kegelisahan, yang diabadikan ke dalam simbol verbal berupa puisi, akan memunculkan pemahaman yang reflektif bagi gerak-gerik atau gejala-gejala kemanusiaan. Terbentuklah struktur, dan tertransformasikanlah inovasi-inovasi. Kegelisahan mengacu pada objek gerak-gerik peristiwa yang terjadi secara realistis (referential symbolism) sekaligus memberikan penekanan pada alam psikologis subyektif penyair (evocative symbolism). Begitulah di dalam antologi puisi tunggal Fatah Yasin Noor ini.

Malam itu, saya mendapat sejenis kehormatan atau, boleh dibilang, keberuntungan buat orang yang terlalu hijau tentang puisi macam saya, untuk memilih puisi-puisi Fatah Yasin Noor sebelum diterbitkan. “Mandat” berat itu saya terima dari Bang Fatah sendiri dengan rasa senang, juga bersiap untuk melakukan kerja keras mengapresiasi karya-karya Fatah Yasin yang masih berupa tulisan tangan dan teramat banyak di buku catatan hariannya. Puisi-puisi itu ditulisnya pada kurun-kurun waktu 90-an sampai dengan tahun 2002. Sebuah perjalanan kepenyairan yang intens, penuh kesetiaan dan kesabaran. Dari buku catatan harian Fatah Yasin, saya dapat membaca ratusan sajak dan esai-esai. Boleh dikata, dalam perjalanan kepengarangannya, Fatah adalah manusia yang mengidap kegelisahan yang akut. Sehingga tidak mengherankan bila dari tangannya memancar karya-karya sastra, baik imajinatif maupun non-imajinaf, begitu melimpah. Malam itu, ketika saya mendapat kehormatan untuk memilih dan mengetik puisi-puisi Fatah, beliau mengeluarkan semua hasil tulisannya yang ditulisnya di dalam buku-buku harian yang tebal dan jumlahnya, cukup mengagetkan, tak dapat saya hitung dengan jari tangan! Bangsat! Banyak sekali!

Di dalam benak saya terlintas rasa kagum dengan militansi kepenulisannya. Semua buku-buku catatan harian yang berisi puisi-puisi dan esai-esai sastra itu ia tulis sejak kurun waktu di mana waktu itu saya masih belum mengenal mahluk yang bernama sastra. Sebuah kerja raksasa yang mengagumkan. Dan, malam itu di kediamannya, saya katakan apakah tak punya keinginan untuk diterbitkan? Dengan tawa khas yang lepas, Fatah Yasin menjawab: “Lihat saja bila nantinya! Buku-buku ini akan sampai ke tangan ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang,” katanya sembari menyedot rokok filter kuat-kuat. Ah, sebuah ambisi yang gila, pikir saya.

Dengan melihat hasil-hasil karya tulisnya, yang tetap ia tekuni sampai detik ini, seorang Fatah adalah manusia gelisah dalam menjalani kesepian. Sisifus berkepala batu. Dan saya yakin, tanpa kesetiaan dalam memelihara kegelisahan jiwanya, ia tak mungkin melahirkan tulisan-tulisan sebanyak itu. Ia mungkin memanglah seorang pemurung kelas berat. Fatah memelihara, merawat, membelai, mencumbui, menyetubuhi kegelisahannya sehingga lahirlah ratusan ribuan juta-juta-juta huruf dari tangannya yang terangkai dengan bagus dan sastrawi. Dengan kegelisahan itulah, saya menemukan semacam keperihan-keperihan yang terus-menerus menetes dari diksi demi diksi sajak-sajak yang diciptanya. Penyair kita ini ternyata menyukai kegelisahan. Ia mencari dan memunculkan kegelisahan itu di mana pun, pada kondisi bagaimanapun. Mungkin hingga tangannya kaku tak lagi kuat mengangkat pena. Memang Sisifus tak akan berhenti mengusung batu ke atas gunung terus-menerus dengan setia, kecuali ia sudah menemui ajalnya.

Di dalam sajak-sajaknya, Fatah senantiasa menampilkan visualisasi “keperihan” suatu peristiwa abstrak dalam jiwa individual yang asasi. Yang terasa saat melakukan pengembaraan terhadap kata demi kata dalam sajak-sajak Fatah, ada semacam kemurungan, duka, cinta, kesahduan, yang benar-benar hadir dengan wajah sayu, sepi, nikmat, dan murung. Gaya “visual keperihan” sajak-sajak Fatah, pada titik tertentu dalam kehikmatan, menyeret dalam jebakan keheningan di mana seseorang tak ingin keluar dari dalamnya. Namun dari gaya visual yang banyak menampilkan keperihan, sajak-sajak Fatah memang tidak menantang kita untuk menyelaminya secara dalam. Sajak-sajaknya lebih banyak mengajak kita untuk merasakan, menghikmati, merenung, merangsang kemurungan demi suatu makna, men-sunyi-kan untuk menemukan peng-arti-an. Namun demikian, bukan berarti sajak-sajak Fatah tidak dalam untuk diselami. Justru di situ letak kekuatan dan kedalaman sajak-sajak Fatah yang sederhana. Ia dapat dibaca oleh siapa pun yang tak memiliki kemampuan apresiasi yang baik, namun sajak-sajak Fatah tak akan mengecewakan bagi yang dahaga akan kedalaman makna untuk kebutuhan apresiasi atau “ritual akademika” sastra. Kalau beberapa penyair Banyuwangi menyebut Fatah Yasin Noor dengan merek “penyair intelektual”. Saya lebih sreg menyebut seorang Fatah “penyair kerupuk” sebab ia seorang pengusaha kerupuk. Apa kaitannya dengan karya-karya sastranya? Kaitannya adalah ini: Kebersahajaan dan kesederhanaan dengan imaji-maji liar. Jadi, karya-karya yang terpancar dari sela-sela jari-jemarinya sesuai sekali dengan gaya hidupnya yang bersahaja, sederhana, bekerja, dan berimaji liar, serta memiliki rencana-rencana raksasa di dunia sastra tanah air.

Penyair memang bukan muballigh, bukan juru pidato, itulah karenanya ia mesti bisa menjaga sajak-sajaknya untuk tidak terjebak dalam propaganda-propaganda, retorika-retorika, atau berfilsafat muluk-muluk berbusa. Sehingga menyebabkan kualitas karya jadi buruk, tidak abadi, atau menjadi taik keledai. Dalam hal ini, Fatah Yasin Noor telah benar-benar mampu membebaskan sajak-sajaknya dari gairah menggurui, menceramahi, mempidatoi, mempropagandai, atau berfilsafat muluk-muluk berbusa. Dengan demikian, ada kenikmatan estetis asyik ketika membaca karya-karya Fatah Yasin yang cenderung memvisualisasikan keperihan dari kegelisahan yang akut. Transformasi keperihan dan kegelisahan dengan lihai dilukis Fatah dengan liris ke dalam teks. Nampaknya, dia telah menemukan semacam ucap langgeng di dalam teks. Sehingga lahirlah simbol-simbol verbal berupa puisi tertulis dengan acuan gerak-gerik kemanusiaan paling asasi secara sadar atau tidak, dengan “menindas” peristiwa sekaligus – pada waktu bersamaan – “digilasnya” kejiwaannya sebagai pengrajin kata-kata.

Pembangunan diksi dengan imaji-imaji visual tentang suatu peristiwa abstrak dalam jiwa individual menyebabkan seluruh rasa; sunyi dan perih, hening dan senyap, murung dan renung, benar-benar seolah sedang terasa. Sajak-sajak Fatah mengajak mengadakan pengembaraan rasa (sense) dan permenungan (contemplation) ke dalam sebuah dunia hening dan khusyuk. Visualisasi, rata-rata, diikuti keperihan jiwa dalam kegelisahan menampakkan aliterasi dari suatu peristiwa jiwa abstrak yang menjebak. Sehingga akan cukup membuat kita tercenung dan teduh sambil terkesima. Transformasi realitas ke dalam unsur-unsur abstrak justru menyebabkan realitas menjadi tidak visual. Yang terjadi adalah sebaliknya. Fatah begitu gemulai mengusung realitas ke dalam sebuah adonan diksi yang tenang, tidak meledak-ledak, hening. Lalu rangkaian itu menjadi suatu formasi yang berhasil dalam memvisualkan ciri khas keperihan dalam sajak-sajaknya. Kalau boleh dikata, sajak-sajak Fatah adalah hasil “dialektika kesenyapan” dengan realitas. Sehingga sajak-sajak Fatah tidak memandang realitas sebagaimana mestinya. Namun ia mengolah dan memprosesnya dalam ketenangan, kesahduan, cinta, keperihan, kekal dan fana.

Sajak Fatah Yasin tidak mendobrak realitas. Ia memilih berdamai dengan realitasnya. Namun, sajak-sajak dalam antologi ini memberikan semacam tawaran adonan diksi-diksi yang “mencengangkan” di dalam teks. Artinya, sajak-sajak Fatah tidak tunduk pada realitas (objek) yang dibidik. Namun ia tidak mengancam atau membongkar objek, sehingga estetika pengucapannya tetap terjaga. Objek atau realitas seringkali tampil secara terpotong-potong. Sedangkan respon keperihan menjadi utuh secara visual. Inilah yang membuat sajak-sajak Fatah Yasin tidak menjadi “corong” objeknya, tapi lebih menjadi “corong” subjek yang pandai berdialek dengan objeknya sebagai tujuan sajak (intention). Penulisan liris dalam penciptaan sajak-sajaknya membuat visualisasi tentang keperihan terasa melingkupi. Tidak ragu. Hidup dan pada gilirannya menjebak ke dalam keheningan. Bergerak segenap dunia rekayasa yang dibangun dalam sajak-sajaknya. Atau, katakanlah, visualisasi tentang keperihan ini tidak diam dalam sajak, lazim disebut—dalam karya prosa—adalah peristwa bergerak (generation of circumtances).

Nampaknya, sajak-sajak Fatah Yasin Noor yang ditulisnya dalam periode tahun 90-an dibandingkan dengan produksi kreatifnya di tahun 2000-an ini tidak mengalami pergeseran. Memanglah layak bila Fatah telah menemukan “pohon jati” kepenyairannya.

Rata-rata sajak cinta yang terkumpul dalam antologi ini bukan keseluruhan sajak-sajak Fatah yang melimpah. Namun saya coba untuk mencomot sajak-sajak yang benar-benar dapat mengidentifikasikan kepenyairan Fatah Yasin. Rupanya—kerinduan dengan keperihan, cinta dengan keperihan, kepasrahan dengan keperihan, sunyi dengan keperihan—dalam sajak-sajak Fatah kental dengan nuansa keheningan (yang seperti ranjau menjebak di sana-sini), kemurungan, dan kegelisahan sebagaimana saya singgung di muka. Lihatlah:


Barangkali hanya desiran angin yang merindu

Engkau terus-menerus menjelma bianglala

Menciptakan kesepian yang menghitam dalam dadaku

Begitu jauh sudah perjalanan ini

Burung yang selalu menjeritkan kesia-siaan

Masih saja menangkap bayangmu

Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi


2001 (Fatah Yasin Noor, Orkestra Sunyi)


Sebuah kerinduan yang intensif, kesepian panjang, pengembaraan. Keperihan terungkap dengan: Burung yang selalu menjeritkan kesia-siaan. Dalam kodisi (situation of event) dalam sajak seperti ini, kita secara santai dihadapkan pada kelengangan sekaligus kemurungan yang menawarkan kepada kita untuk masuk dalam tahap kontemplatif akan makna kesetiaan atau intensitas cinta dan keheningan. Digambarkan dengan sederhana: Masih saja menangkap bayangmu/Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi. Aku lirik tetap tak kuasa menguak apa yang sebenarnya ada di dalam jiwanya. Sebuah keheningan dan permenungan yang luas dan sepi. Orkestra Sunyi juga memvisualkan kepasrahan di dalam kesunyian. Kemurungan-keperihan terasa begitu dalam ketika kefanaan hanya membawa kesia-siaan. Dan semua kesia-siaan yang dijeritkan Burung menggambarkan bahwa kesia-siaan adalah sayatan keperihan. Dan semua telah menjadi perjalanan empirik Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi.

Ah, Fatah Yasin Noor memang selalu mengajak pada kesenyapan yang diam-diam dan menjebak kedalam estetika hening permenungan. Ia seperti memasang ranjau-ranjau keheningan di setiap diksi dalam sajaknya. Lihatlah:


Kesetiaanmu pada laut berujung di cakrawala

Seperti hari yang terus menggagas hujan

Dan perjalanan senja merambah dinding rahasia

Kuning keperakan pada keningmu: Itulah tanda

Yang sekilas kutangkap untuk esok hari

Ketika pantai berkejaran dengan mataku


2001 (Fatah Yasin Noor, Gagasan Hujan)


Gila! Kesetiaanmu pada laut yang begitu dahsyat dan meledak-ledak disenyapkan oleh perjalanannya yang berujung di cakrawala. Waktu yang berjalan menumbuhkan rasa ingin kesejukan dengan hari yang terus menggagas hujan. Sebuah kerinduan. Sebuah impian dan harapan. Itulah yang termanifestasi dari cinta. Suatu cita-cita yang berkomunikasi dengan kesunyian dan permenungan dengan intens dan setia menggagas hujan.

Fatah, boleh jadi, hanya menulis dengan gaya visual keperihan, kegelisahan, kemurungan, kesepian. Hampir di dalam sajak-sajaknya tak terdapat model-model kontekstual. Saya pikir Fatah menulis hanya pakai rasa (feeling) an sich dan otak cukup sebagai pemantau saja. Namun begitu, ketika mengapresiasi karya-karya Fatah Yasin Noor kita menemukan potongan-potongan otak yang cerdas mengental dan berceceran. Sehingga memang tidak kaget jika Fatah Yasin Noor dikenal dengan merek “penyair intelektual” di Banyuwangi.

Demikianlah guntingan-guntingan peristiwa dan bertitik-titik keperihan dalam sajak-sajak Fatah Yasin Noor. Ayo, apa lagi yang bakal sampeyan tulis Bang Fatah?


Sunyi menampar


Atau hening yang menampar

Aku tak tahu


Lalu di sana berdiri gurun sepi

Menghadang

Dalam setiap jejak luka

Dan mungkin hanya labirin

Tempat akhir daun-daun

Yang mengering, yang menguning

Entah apa maknanya


September 1990 (Fatah Yasin Noor, Nokhta Biru)


Banyuwangi, 20 Mei 2003

Sajak Taufiq Wr. Hidayat


Senjakala yang Purba I


Orang-orang berjas hitam, di tengah hujan yang mendesak pada tembok-tembok kota tua yang tak mengenal manusia. Di sini, dinding gang lautan kebosanan, mendaur mimpi dengan sunyi, darah muncrat di jalan sempit yang renta.

Aku

terduduk

di

tepi

itu.

Bunyi-bunyi kembali mengacak diri dalam ruang, waktu dan wajah berdebu dari jalan yang menderu melulu. Tiap-tiap kata menyembunyikan api, tiap-tiap detik memungkinkan banyak lagi sesuatu yang tak terduga.


Seorang perjaka mengecat jalan raya dengan peluh, rambut panjang tak terkira. Mengurailah matahari yang tak pernah nyanyi. Orang-orang tak lagi berpikir yang lain, semua demi hidup sendiri-sendiri; keluarga dan kejayaan yang tak pasti, dirangkai melati pada siang dan malam hari. Mari menenggak racun, tawar waktu kepada kita. Bangunan-bangunan tinggi menikam cakrawala, sayap seriti gemetar pada pintu senja yang tak terbantah. Bersemayamlah irama semesta dalam gamang. Orang-orang itu berlalu-lalang, datang dan pergi lalu entah ke mana lagi. Sementara

Aku

terduduk

di

tepi

itu.


Muncar, 2009










Senjakala yang Purba II


Orang-orang mendesak arloji yang menuding angka 11.55 dalam pengendaran jarum angka 23.55. Kesibukan menimbun kecemasan kota-kota dalam harum pinisilin. Dunia terus berlari. Membuka kembali daun pintu pada bayang-bayang yang hampir hilang. Aku mengubur bibirmu di kejauhan angan, menegaskan stasiun kota yang membenamkan lampu-lampu senjakala.


Dari segala pengendaraan. Dunia berlari. Mendengus seperti kereta api yang pulang pergi dari stasiun tua di tepian senjakala. Kita belum berhenti memburu arloji yang jarumnya selalu menuding angka 11.55 yang bergesernya pada angka 23.55. Kita tak henti meminum air yang sudah didinginkan ke dalam tenggorokan yang selalu dipanggang kata-kata.


Muncar, 2009




Seribu Jalan Raya


Seribu jalan raya.

Orang-orang mentasbihkan kenyataan dari segala kesibukan.

Tatapan-tatapan berdesakan dari segala ruang yang bergantian.

Lalu lintas kecemasan memadati waktu yang berburu.

Nafsu liar adalah harum parfum yang menusuk hidungmu bersama udara.

Raung mesin, dan kesunyian diam-diam mengendap dalam setiap nafas yang menumpas.

Aku diantar senja, menekuni jalan yang tak pernah basah dengan air mata, memantulkan ramai atau menegaskan kesia-siaan, meminum keringat segala desah yang menyayat.


Seribu jalan raya.

Dan kita yang terus berkata-kata.


Muncar, 2009





Jenak


Di dalam batas segenap kegentingan

Pendiaman diri yang terdesak dalam dada

Aroma lautan, amis ikan

Udara panas

Menyisakanmu yang meranggas


Perjamuan yang terserak

Di antara nyaring yang ramai

Kehausan yang memuaikan kecemasan


Sungguh tiada waktu berseru

Segala yang bermakna ungu

Membekas pada bibirmu

Yang dengan tabah

Menyulam waktu yang terus memburu


Muncar, 26 Maret 2009





Semenjak


Ada yang gelisah. Pada

Malam yang diam.

Ada yang tiba-tiba datang,

Di wajah jendela.


Di situ batas menegas,

Menyampaikan sunyi pada sejarah


Banyuwangi, 2009

Catatan Kecil buat Angin yang Pagi


Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


Membaca novel yang ditulis Hari Pr. berjudul "Elegi Angin Pagi", terasa oleh kita udara segar pedesaan, harum tanah sehabis tersiram embun, dan wangi daun-daun pohonan mahoni. Kesegaran pedesaan yang ditulis Hari dalam novelnya mengajak pembaca larut ke dalam sebuah ruang dinamisasi masyarakat pedesaan yang masih murni dari nilai-nilai individualistik, masih menganut dengan kental nilai-nilai tradisi tanpa terkotori oleh kegiatan kota yang menjauh dari realitas kesejatian hidup. Kondisi itu dalam pandangan Hari Pr., mungkin adalah sebentuk kondisi yang mapan (sehingga harus dibongkar), atau mungkin kondisi rawan yang rentan terhadap pengaruh dari luar. Desa tidak menjadi eksklusif, ia menjadi inklusif sehingga ia menerima pengaruh dan wacana dari luar potensinya sendiri. Dengan demikian, desa yang digambarkan sedemikian ideal dalam novel "Elegi Angin Pagi" yang baru-baru ini diluncurkan itu, mengalami distorsi dan kegamangan nilai-nilai. Persoalan ini dimulai dari perjalanan sang tokoh Angin. Angin adalah orang desa yang melanjutkan kuliahnya di desa. Di desanya, ia menghadapi realitas masyarakat yang tidak berpendidikan, sehingga keberadaan sang Angin menjadi tumpuan harapan warga desanya.


Dengan berbekal semangat dan kehendak untuk memberikan yang terbaik bagi desanya, sang Angin pun mulai mengabdi pada desanya itu. Tapi, apa yang terjadi? Sang Angin harus menghadapi dinamika politik di desa terkait kepemimpinan desa. Ketika ia tengah memberikan sebentuk pengabdian bagi desanya, ia malah diculik dan dilepaskan setelah hampir mengalami goncangan jiwa. Mungkin setting waktu novel ini adalah di tahun-tahun masa Orde Baru, di mana marak penculikan dan pelarangan atau sensor. Angin dianggap sebagai anak-cucu PKI karena ia sangat suka menyanyikan lagu Genjer-genjer ciptaan kakeknya. Namun, ada juga ironi di dalam dialognya, yakni ketika Angin dilarang menyanyikan lagu itu, Angin menjawab: "Ini kan sudah jaman kebebasan...".


Aliterasi dan penggambaran obyek yang dikisahkan Hari Pr. dalam novelnya cukup menggugah, sehingga kita akan terbawa pada kondisi penceritaan yang lancar dengan dialog-dialog yang mengalir. Di samping itu, perjalanan tokoh Angin kemudian menjadi sebuah gambaran sebuah perjalanan anak muda yang gelisah melihat dinamika faktual dalam kehidupan desanya. Ini cukup sejalan dengan pengalaman Hary Pr. sendiri sebagai seorang aktivis mahasiswa di Banyuwangi sejak tahun 2000-an hingga di tahun 2005, sampai ia terpilih sebagai salah satu anggota KPUD Banyuwangi. Menjadi menarik, karena novel ini cukup kental menggambarkan sebuah pergulatan batin sang Angin dari kehidupannya secara pribadi hingga kiprahnya bagi orang banyak di desanya. Pergulatan dan perjalanan ini menanggung resiko yang tidak enteng bagi sang Angin, di mana ia harus menghadapi intimidasi dan pengkucilan, ia harus menghadapi benturan nilai-nilai yakni antara nilai-nilai yang ia yakini selama ini dengan nilai-nilai faktual di tengah dinamika masyarakatnya sendiri.


Novel ini memberikan sebentuk gambaran kepada kita, bahwa sebuah pencapaian memang memerlukan aktualisasi yang tidak enteng, di mana tokoh dalam novel ini harus berhadapan dengan "kegendengan-kegendengan" perjalanan masyarakat dan ulah para tokoh yang berambisi meraih kekuasaan desa. Penggambaran desa dengan novel ini adalah gambaran aktual negeri kita saat ini, bukan?


Ada yang menarik dari novel Hari Pr. "Elegi Angin Pagi", yakni novel ini menggambarkan juga dinamika budaya Banyuwangi dari banyak sisi penceritaan dan dialog-dialognya. Ada setting kehidupan dan 'cara' Using dan Mataraman. Sebagaimana kita ketahui bersama, Banyuwangi adalah sebuah wilayah yang memiliki kemajemukan etnis. Sehingga dapatlah kita sebut di sini, bahwa budaya Banyuwangi adalah budaya kerakyatan. Kaitannya dengan hal itu, novel "Elegi Angin Pagi" cukup basah di dalam menggambarkan realitas budaya Banyuwangi sebagai sebuah kekuatan lokalistik.


"Elegi Angin Pagi" adalah novel yang cukup mengejutkan yang telah terbit dan ditulis oleh orang Banyuwangi. Dalam sejarah kesusastraan di Banyuwangi, baru tiga novel yang sudah terbit, yakni "Kerudung Santet Gandrung" karya sastrawan gaek Hasnan Singodimayan, "Berdirinya Kerajaan Macan Putih" karya Armaya (yang juga penulis senior Banyuwangi), dan ketiga adalah "Elegi Angin Pagi" yang ditulis oleh penulis baru, Hary Pr. yang sehari-hari kita mengenalnya bukan seorang penulis sastra. Ini artinya, ada potensi yang terpendam dalam diri Hary Pr. di dalam melahirkan sebuah karya sastra, di mana novelnya sebagian besar menggambarkan kecemasan dan kegelisahan batinnya memandang realitas kehidupan politik di Banyuwangi. Kemunculan novel Hary Pr. ini perlu kita rayakan sebagai seorang bayi yang baru lahir di jagat kesusastraan Banyuwangi, agar karya-karya sastra terus bermunculan. Kritik sastra kita perlukan, namun mari kita menunggu babak baru kebangkitan sastra di Banyuwangi setelah ini. Mudah diucapakan, tetapi harus kita buktikan, bukan? Semoga.


Banyuwangi, 29 Mei 2009

Minggu, 24 Mei 2009

Kau Menari di Dalam Lautmu

Cerpen Taufiq Wr. Hidayat

“Pada sebuah tepi,” demikian kau awali sebuah ceritamu kepadaku.

“Pada sebuah tepi yang apa?” begitu aku bertanya.

“Pada sebuah tepi laut. Lautan yang mengisahkan tentang sebuah bukit kecil ketujuh yang ditumbuhi pohonan. Pohonan yang tidak pernah terjamah,” katamu sembari menari. Kau melompat-lompat. Agresif. Namun tak menyimpan kegarangan. Daging-daging dari tubuhmu yang gembur rontok ke tanah. Udara dingin. Angin lautan yang terkadang kencang pada sebuah perkampungan tepi laut membawamu terbang.

Kereta api yang bertahun-tahun karatan seolah tak pernah mengabarkan kapan ia akan berangkat. Langit ungu. Bulan separuh. Orang-orang membiru.

Kau masih di situ, menunggu dering dari sebuah wartel yang atapnya berlumut. Sedangkan berita mengenai kampungmu masih terngiang dibawa jerit burung gereja yang lapar. Tentang kampung kelahiran yang diam-diam digadaikan kepada pihak penambang dari pusat. Konon, ikan-ikan dalam mimpimu berenang ke tepi laut, mereka merindukan muara, air tawar untuk sejenak memandikan tubuhnya yang tak akan pernah asin dalam lautan air biru itu. Kau terbangun mendadak. Malam. Dan jam tua mendentangkan waktu yang kembali menyusun bangku-bangku kereta. Ikan-ikan melompat dari dalam kepalamu. Bau hangus kabel yang terbakar menyengat hidungmu dan hidungku.

“Masih dingin dan hujan tak membawa berita tentang cuaca dari tepi hutan,” katamu.

“Tapi, orang-orang masih berkomplot di tikungan. Topinya topi hujan. Jas hujan yang menyala. Dan di sebuah ruang ada yang menawarkan kehangatan, yakni tubuh yang segar serta daging yang ranum. Atau segelas jahe untuk melegakan tenggorokan, atau secangkir wiski yang panas,” kataku tak mengerti.

***

Seorang pejabat mengenakan jam tangan dari emas. Tubuhnya yang bergula seolah becek dan berjatuhan ke lantai. Rapat belum dimulai. Orang yang di tepi jalan itu mengamati dari balik jendela mobil hitam yang kacanya hitam. Ia mengawasi gedung pemerintah dengan tatapan seolah tak berkedip. Hujan masih turun dengan leluasa tanpa menandakan kapan akan berhenti.

Kau masih menari. Daging-daging tubuhmu yang gembur jatuh ke tanah. Kau terus menari seolah kesurupan bagai penari Seblang yang merayakan syukur akan melimpahnya hasil-hasil pertanian. Padahal di saat fajar, orang-orang juga merayakan upacara kematian dengan tarian dengan nyanyian dengan pesta makan dengan seks. Ya. Puncak segala kemegahan adalah seks. Mereka memburu itu. Menduduki kekuasaan, menggali kekayaan, mengukir nama dan keluarga, menggali emas dan menghabisi manusia, tak lain demi puncak kemegahan. Tapi, kau masih terus menari. Menari. Menari. Tertawa lalu meneguk secangkir anggur. Tubuhmu yang becek bergetar-getar lalu rontok, luruh ke bumi. Bumi yang penah menampung kelahiranmu.

“Aku harus pulang,” katamu.

“Ke mana?” tanyaku.

“Pulang ke tepi.”

“Tepi yang mana?”

“Tepi laut. Harum rambut yang terbakar dan harum kabel yang panas membuatku bergairah untuk kembali melayani kegarangan para binatang.”

“Siapa orang-orang itu?”

“Orang-orang itu.”

“Siapa?”

“Orang-orang itu. Orang-orang yang menanam emas di kepalanya.”

Langit hitam. Mendung bergerak pelan-pelan. Hujan mengalir. Seorang tua di tepi jalan, tertatih memikul kecemasan. Asap tembakau mengepul dari sebuah warung. Dan rapat belum dimulai. Sedangkan di luar, seorang lelaki mencurigakan mengawasi gedung pemerintah dari balik kaca mobilnya dengan seksama.

“Kapan rapat dimulai?” tanya seorang lelaki yang bergigi emas.

“Belum. Rapat belum dimulai. Belum,” jawab wanita bertubuh gembur dan mengenakan gelang emas di lengannya.

“Kapan?”

“Sebentar!”

“Segera! Tidak ada waktu lagi! Birahi tidak mungkin ditangguhkan lebih lama lagi, Bu!” ujar lelaki berambut putih dan giginya besar-besar seperti kapak.

“Sabarlah.”

“Baik.”

“Nah.”

“Jangan lama.”

“Tentu.”

Jalanan basah. Hujan terus mengalir. Sedang kau belum selesai menari. Kali ini ada air mata yang ikut mengalir dari kedua tepi matamu.

“Aku akan ke tepi,” kataku padamu.

“Ke tepi mana?” tanyamu.

“Ke tepi matamu.”

“Oh.”

“Ya.”

Jalanan basah. Lampu-lampu gemigil dihajar hujan. Asap tembakau mengepul ke jalanan. Bau parfum dan harum emas yang baru matang.

“Mari melakukan perjalanan,” katamu sambil terus menari.

“Perjalanan?”

“Ya. Sebelum segalanya terlibat dan sebelum segalanya meminta syarat dari waktu yang sekarat dan ruang yang karat. Ayo! Kita lakukan perjalanan.”

“Ke mana?”

“Ke tepi laut. Tepi dari segala tepian yang kehilangan perahu dan ikan.”

Kulihat ikan-ikan berlompatan dari dalam kepalamu. Bau kabel terbakar makin menusuk ke dalam hidungku. Tapi, kereta api malam hari yang belum juga berangkat masih kulihat tergeletak di dalam matamu. Bau amis darah. Darah dari ikan-ikan. Kau tiba-tiba berhenti menari. Diam. Mematung. Daging-daging dari tubuhmu terus berjatuhan makin cepat ke tanah. Rontok. Terus rontok. Namun, seolah daging dari tubuhmu yang becek dan gembur itu tak pernah habis disedot gravitasi bumi. Tiba-tiba kau melompat. Melompat ke dalam laut. Sampai ke dasar laut. Kau menari di situ. Di dasar laut itu.

“Rapat sudah dimulai. Kebijakan negara segera ditetapkan.”

“Bagus.”

Dan orang yang di tepi jalan hujan itu, mengawasi dengan teliti semakin geram semakin sakit hati semakin marah semakin marah semakin marah dari balik kaca jendela mobil hitam.

Dan kau terus menari. Menari di dasar lautan. Dagingmu melecuh dan lecet digerogoti air laut. Tubuhmu menjadi putih. Ya. Air laut. Dan ikan-ikan berenang di dalam kepalamu.

Banyuwangi, 2009


Biodata Penulis

Taufiq Wr. Hidayat, lahir di Banyuwangi. Menulis puisi, esai, dan cerpen di sejumlah media massa lokal dan nasional. Sajak, esai dan cerpennya pernah dimuat di Kompas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Ge-M, Jejak, dll. Sejumlah puisinya telah dibukukan dalam kumpulan sajak tunggalnya berjudul "Suluk Rindu" (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman, 2005). Kumpulan esai dan prosanya berjudul "Banyuwangi Senjakala dalam Kecemasan" (Katarsis, 2005) dan "Kekuasaan dan Kekuatan Rakyat" (Katarsis, 2006). Kini tinggal di Banyuwangi