Sajak Taufiq Wr. Hidayat
Senjakala yang Purba I
Orang-orang berjas hitam, di tengah hujan yang mendesak pada tembok-tembok kota tua yang tak mengenal manusia. Di sini, dinding gang lautan kebosanan, mendaur mimpi dengan sunyi, darah muncrat di jalan sempit yang renta.
Aku
terduduk
di
tepi
itu.
Bunyi-bunyi kembali mengacak diri dalam ruang, waktu dan wajah berdebu dari jalan yang menderu melulu. Tiap-tiap kata menyembunyikan api, tiap-tiap detik memungkinkan banyak lagi sesuatu yang tak terduga.
Seorang perjaka mengecat jalan raya dengan peluh, rambut panjang tak terkira. Mengurailah matahari yang tak pernah nyanyi. Orang-orang tak lagi berpikir yang lain, semua demi hidup sendiri-sendiri; keluarga dan kejayaan yang tak pasti, dirangkai melati pada siang dan malam hari. Mari menenggak racun, tawar waktu kepada kita. Bangunan-bangunan tinggi menikam cakrawala, sayap seriti gemetar pada pintu senja yang tak terbantah. Bersemayamlah irama semesta dalam gamang. Orang-orang itu berlalu-lalang, datang dan pergi lalu entah ke mana lagi. Sementara
Aku
terduduk
di
tepi
Muncar, 2009
Senjakala yang Purba II
Orang-orang mendesak arloji yang menuding angka 11.55 dalam pengendaran jarum angka 23.55. Kesibukan menimbun kecemasan kota-kota dalam harum pinisilin. Dunia terus berlari. Membuka kembali daun pintu pada bayang-bayang yang hampir hilang. Aku mengubur bibirmu di kejauhan angan, menegaskan stasiun kota yang membenamkan lampu-lampu senjakala.
Dari segala pengendaraan. Dunia berlari. Mendengus seperti kereta api yang pulang pergi dari stasiun tua di tepian senjakala. Kita belum berhenti memburu arloji yang jarumnya selalu menuding angka 11.55 yang bergesernya pada angka 23.55. Kita tak henti meminum air yang sudah didinginkan ke dalam tenggorokan yang selalu dipanggang kata-kata.
Muncar, 2009
Seribu Jalan Raya
Seribu jalan raya.
Orang-orang mentasbihkan kenyataan dari segala kesibukan.
Tatapan-tatapan berdesakan dari segala ruang yang bergantian.
Lalu lintas kecemasan memadati waktu yang berburu.
Nafsu liar adalah harum parfum yang menusuk hidungmu bersama udara.
Raung mesin, dan kesunyian diam-diam mengendap dalam setiap nafas yang menumpas.
Aku diantar senja, menekuni jalan yang tak pernah basah dengan air mata, memantulkan ramai atau menegaskan kesia-siaan, meminum keringat segala desah yang menyayat.
Seribu jalan raya.
Dan kita yang terus berkata-kata.
Muncar, 2009
Jenak
Di dalam batas segenap kegentingan
Pendiaman diri yang terdesak dalam dada
Aroma lautan, amis ikan
Udara panas
Menyisakanmu yang meranggas
Perjamuan yang terserak
Di antara nyaring yang ramai
Kehausan yang memuaikan kecemasan
Sungguh tiada waktu berseru
Segala yang bermakna ungu
Membekas pada bibirmu
Yang dengan tabah
Menyulam waktu yang terus memburu
Muncar, 26 Maret 2009
Semenjak
Ada yang gelisah. Pada
Malam yang diam.
Ada yang tiba-tiba datang,
Di wajah jendela.
Di situ batas menegas,
Menyampaikan sunyi pada sejarah
Banyuwangi, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar