Kamis, 28 Mei 2009

Sajak Taufiq Wr. Hidayat


Senjakala yang Purba I


Orang-orang berjas hitam, di tengah hujan yang mendesak pada tembok-tembok kota tua yang tak mengenal manusia. Di sini, dinding gang lautan kebosanan, mendaur mimpi dengan sunyi, darah muncrat di jalan sempit yang renta.

Aku

terduduk

di

tepi

itu.

Bunyi-bunyi kembali mengacak diri dalam ruang, waktu dan wajah berdebu dari jalan yang menderu melulu. Tiap-tiap kata menyembunyikan api, tiap-tiap detik memungkinkan banyak lagi sesuatu yang tak terduga.


Seorang perjaka mengecat jalan raya dengan peluh, rambut panjang tak terkira. Mengurailah matahari yang tak pernah nyanyi. Orang-orang tak lagi berpikir yang lain, semua demi hidup sendiri-sendiri; keluarga dan kejayaan yang tak pasti, dirangkai melati pada siang dan malam hari. Mari menenggak racun, tawar waktu kepada kita. Bangunan-bangunan tinggi menikam cakrawala, sayap seriti gemetar pada pintu senja yang tak terbantah. Bersemayamlah irama semesta dalam gamang. Orang-orang itu berlalu-lalang, datang dan pergi lalu entah ke mana lagi. Sementara

Aku

terduduk

di

tepi

itu.


Muncar, 2009










Senjakala yang Purba II


Orang-orang mendesak arloji yang menuding angka 11.55 dalam pengendaran jarum angka 23.55. Kesibukan menimbun kecemasan kota-kota dalam harum pinisilin. Dunia terus berlari. Membuka kembali daun pintu pada bayang-bayang yang hampir hilang. Aku mengubur bibirmu di kejauhan angan, menegaskan stasiun kota yang membenamkan lampu-lampu senjakala.


Dari segala pengendaraan. Dunia berlari. Mendengus seperti kereta api yang pulang pergi dari stasiun tua di tepian senjakala. Kita belum berhenti memburu arloji yang jarumnya selalu menuding angka 11.55 yang bergesernya pada angka 23.55. Kita tak henti meminum air yang sudah didinginkan ke dalam tenggorokan yang selalu dipanggang kata-kata.


Muncar, 2009




Seribu Jalan Raya


Seribu jalan raya.

Orang-orang mentasbihkan kenyataan dari segala kesibukan.

Tatapan-tatapan berdesakan dari segala ruang yang bergantian.

Lalu lintas kecemasan memadati waktu yang berburu.

Nafsu liar adalah harum parfum yang menusuk hidungmu bersama udara.

Raung mesin, dan kesunyian diam-diam mengendap dalam setiap nafas yang menumpas.

Aku diantar senja, menekuni jalan yang tak pernah basah dengan air mata, memantulkan ramai atau menegaskan kesia-siaan, meminum keringat segala desah yang menyayat.


Seribu jalan raya.

Dan kita yang terus berkata-kata.


Muncar, 2009





Jenak


Di dalam batas segenap kegentingan

Pendiaman diri yang terdesak dalam dada

Aroma lautan, amis ikan

Udara panas

Menyisakanmu yang meranggas


Perjamuan yang terserak

Di antara nyaring yang ramai

Kehausan yang memuaikan kecemasan


Sungguh tiada waktu berseru

Segala yang bermakna ungu

Membekas pada bibirmu

Yang dengan tabah

Menyulam waktu yang terus memburu


Muncar, 26 Maret 2009





Semenjak


Ada yang gelisah. Pada

Malam yang diam.

Ada yang tiba-tiba datang,

Di wajah jendela.


Di situ batas menegas,

Menyampaikan sunyi pada sejarah


Banyuwangi, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar