Kamis, 28 Mei 2009

Visual Keperihan dalam Sajak-sajak Fatah Yasin Noor

Esai Taufiq Wr. Hidayat


Ketika seorang penyair telah mengelupasi seluruh kegelisahannya, maka terlahir dari jemarinya diksi-diksi menggugah tentang nama dari senenap nama kegelisahan. Kegelisahan, yang diabadikan ke dalam simbol verbal berupa puisi, akan memunculkan pemahaman yang reflektif bagi gerak-gerik atau gejala-gejala kemanusiaan. Terbentuklah struktur, dan tertransformasikanlah inovasi-inovasi. Kegelisahan mengacu pada objek gerak-gerik peristiwa yang terjadi secara realistis (referential symbolism) sekaligus memberikan penekanan pada alam psikologis subyektif penyair (evocative symbolism). Begitulah di dalam antologi puisi tunggal Fatah Yasin Noor ini.

Malam itu, saya mendapat sejenis kehormatan atau, boleh dibilang, keberuntungan buat orang yang terlalu hijau tentang puisi macam saya, untuk memilih puisi-puisi Fatah Yasin Noor sebelum diterbitkan. “Mandat” berat itu saya terima dari Bang Fatah sendiri dengan rasa senang, juga bersiap untuk melakukan kerja keras mengapresiasi karya-karya Fatah Yasin yang masih berupa tulisan tangan dan teramat banyak di buku catatan hariannya. Puisi-puisi itu ditulisnya pada kurun-kurun waktu 90-an sampai dengan tahun 2002. Sebuah perjalanan kepenyairan yang intens, penuh kesetiaan dan kesabaran. Dari buku catatan harian Fatah Yasin, saya dapat membaca ratusan sajak dan esai-esai. Boleh dikata, dalam perjalanan kepengarangannya, Fatah adalah manusia yang mengidap kegelisahan yang akut. Sehingga tidak mengherankan bila dari tangannya memancar karya-karya sastra, baik imajinatif maupun non-imajinaf, begitu melimpah. Malam itu, ketika saya mendapat kehormatan untuk memilih dan mengetik puisi-puisi Fatah, beliau mengeluarkan semua hasil tulisannya yang ditulisnya di dalam buku-buku harian yang tebal dan jumlahnya, cukup mengagetkan, tak dapat saya hitung dengan jari tangan! Bangsat! Banyak sekali!

Di dalam benak saya terlintas rasa kagum dengan militansi kepenulisannya. Semua buku-buku catatan harian yang berisi puisi-puisi dan esai-esai sastra itu ia tulis sejak kurun waktu di mana waktu itu saya masih belum mengenal mahluk yang bernama sastra. Sebuah kerja raksasa yang mengagumkan. Dan, malam itu di kediamannya, saya katakan apakah tak punya keinginan untuk diterbitkan? Dengan tawa khas yang lepas, Fatah Yasin menjawab: “Lihat saja bila nantinya! Buku-buku ini akan sampai ke tangan ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang,” katanya sembari menyedot rokok filter kuat-kuat. Ah, sebuah ambisi yang gila, pikir saya.

Dengan melihat hasil-hasil karya tulisnya, yang tetap ia tekuni sampai detik ini, seorang Fatah adalah manusia gelisah dalam menjalani kesepian. Sisifus berkepala batu. Dan saya yakin, tanpa kesetiaan dalam memelihara kegelisahan jiwanya, ia tak mungkin melahirkan tulisan-tulisan sebanyak itu. Ia mungkin memanglah seorang pemurung kelas berat. Fatah memelihara, merawat, membelai, mencumbui, menyetubuhi kegelisahannya sehingga lahirlah ratusan ribuan juta-juta-juta huruf dari tangannya yang terangkai dengan bagus dan sastrawi. Dengan kegelisahan itulah, saya menemukan semacam keperihan-keperihan yang terus-menerus menetes dari diksi demi diksi sajak-sajak yang diciptanya. Penyair kita ini ternyata menyukai kegelisahan. Ia mencari dan memunculkan kegelisahan itu di mana pun, pada kondisi bagaimanapun. Mungkin hingga tangannya kaku tak lagi kuat mengangkat pena. Memang Sisifus tak akan berhenti mengusung batu ke atas gunung terus-menerus dengan setia, kecuali ia sudah menemui ajalnya.

Di dalam sajak-sajaknya, Fatah senantiasa menampilkan visualisasi “keperihan” suatu peristiwa abstrak dalam jiwa individual yang asasi. Yang terasa saat melakukan pengembaraan terhadap kata demi kata dalam sajak-sajak Fatah, ada semacam kemurungan, duka, cinta, kesahduan, yang benar-benar hadir dengan wajah sayu, sepi, nikmat, dan murung. Gaya “visual keperihan” sajak-sajak Fatah, pada titik tertentu dalam kehikmatan, menyeret dalam jebakan keheningan di mana seseorang tak ingin keluar dari dalamnya. Namun dari gaya visual yang banyak menampilkan keperihan, sajak-sajak Fatah memang tidak menantang kita untuk menyelaminya secara dalam. Sajak-sajaknya lebih banyak mengajak kita untuk merasakan, menghikmati, merenung, merangsang kemurungan demi suatu makna, men-sunyi-kan untuk menemukan peng-arti-an. Namun demikian, bukan berarti sajak-sajak Fatah tidak dalam untuk diselami. Justru di situ letak kekuatan dan kedalaman sajak-sajak Fatah yang sederhana. Ia dapat dibaca oleh siapa pun yang tak memiliki kemampuan apresiasi yang baik, namun sajak-sajak Fatah tak akan mengecewakan bagi yang dahaga akan kedalaman makna untuk kebutuhan apresiasi atau “ritual akademika” sastra. Kalau beberapa penyair Banyuwangi menyebut Fatah Yasin Noor dengan merek “penyair intelektual”. Saya lebih sreg menyebut seorang Fatah “penyair kerupuk” sebab ia seorang pengusaha kerupuk. Apa kaitannya dengan karya-karya sastranya? Kaitannya adalah ini: Kebersahajaan dan kesederhanaan dengan imaji-maji liar. Jadi, karya-karya yang terpancar dari sela-sela jari-jemarinya sesuai sekali dengan gaya hidupnya yang bersahaja, sederhana, bekerja, dan berimaji liar, serta memiliki rencana-rencana raksasa di dunia sastra tanah air.

Penyair memang bukan muballigh, bukan juru pidato, itulah karenanya ia mesti bisa menjaga sajak-sajaknya untuk tidak terjebak dalam propaganda-propaganda, retorika-retorika, atau berfilsafat muluk-muluk berbusa. Sehingga menyebabkan kualitas karya jadi buruk, tidak abadi, atau menjadi taik keledai. Dalam hal ini, Fatah Yasin Noor telah benar-benar mampu membebaskan sajak-sajaknya dari gairah menggurui, menceramahi, mempidatoi, mempropagandai, atau berfilsafat muluk-muluk berbusa. Dengan demikian, ada kenikmatan estetis asyik ketika membaca karya-karya Fatah Yasin yang cenderung memvisualisasikan keperihan dari kegelisahan yang akut. Transformasi keperihan dan kegelisahan dengan lihai dilukis Fatah dengan liris ke dalam teks. Nampaknya, dia telah menemukan semacam ucap langgeng di dalam teks. Sehingga lahirlah simbol-simbol verbal berupa puisi tertulis dengan acuan gerak-gerik kemanusiaan paling asasi secara sadar atau tidak, dengan “menindas” peristiwa sekaligus – pada waktu bersamaan – “digilasnya” kejiwaannya sebagai pengrajin kata-kata.

Pembangunan diksi dengan imaji-imaji visual tentang suatu peristiwa abstrak dalam jiwa individual menyebabkan seluruh rasa; sunyi dan perih, hening dan senyap, murung dan renung, benar-benar seolah sedang terasa. Sajak-sajak Fatah mengajak mengadakan pengembaraan rasa (sense) dan permenungan (contemplation) ke dalam sebuah dunia hening dan khusyuk. Visualisasi, rata-rata, diikuti keperihan jiwa dalam kegelisahan menampakkan aliterasi dari suatu peristiwa jiwa abstrak yang menjebak. Sehingga akan cukup membuat kita tercenung dan teduh sambil terkesima. Transformasi realitas ke dalam unsur-unsur abstrak justru menyebabkan realitas menjadi tidak visual. Yang terjadi adalah sebaliknya. Fatah begitu gemulai mengusung realitas ke dalam sebuah adonan diksi yang tenang, tidak meledak-ledak, hening. Lalu rangkaian itu menjadi suatu formasi yang berhasil dalam memvisualkan ciri khas keperihan dalam sajak-sajaknya. Kalau boleh dikata, sajak-sajak Fatah adalah hasil “dialektika kesenyapan” dengan realitas. Sehingga sajak-sajak Fatah tidak memandang realitas sebagaimana mestinya. Namun ia mengolah dan memprosesnya dalam ketenangan, kesahduan, cinta, keperihan, kekal dan fana.

Sajak Fatah Yasin tidak mendobrak realitas. Ia memilih berdamai dengan realitasnya. Namun, sajak-sajak dalam antologi ini memberikan semacam tawaran adonan diksi-diksi yang “mencengangkan” di dalam teks. Artinya, sajak-sajak Fatah tidak tunduk pada realitas (objek) yang dibidik. Namun ia tidak mengancam atau membongkar objek, sehingga estetika pengucapannya tetap terjaga. Objek atau realitas seringkali tampil secara terpotong-potong. Sedangkan respon keperihan menjadi utuh secara visual. Inilah yang membuat sajak-sajak Fatah Yasin tidak menjadi “corong” objeknya, tapi lebih menjadi “corong” subjek yang pandai berdialek dengan objeknya sebagai tujuan sajak (intention). Penulisan liris dalam penciptaan sajak-sajaknya membuat visualisasi tentang keperihan terasa melingkupi. Tidak ragu. Hidup dan pada gilirannya menjebak ke dalam keheningan. Bergerak segenap dunia rekayasa yang dibangun dalam sajak-sajaknya. Atau, katakanlah, visualisasi tentang keperihan ini tidak diam dalam sajak, lazim disebut—dalam karya prosa—adalah peristwa bergerak (generation of circumtances).

Nampaknya, sajak-sajak Fatah Yasin Noor yang ditulisnya dalam periode tahun 90-an dibandingkan dengan produksi kreatifnya di tahun 2000-an ini tidak mengalami pergeseran. Memanglah layak bila Fatah telah menemukan “pohon jati” kepenyairannya.

Rata-rata sajak cinta yang terkumpul dalam antologi ini bukan keseluruhan sajak-sajak Fatah yang melimpah. Namun saya coba untuk mencomot sajak-sajak yang benar-benar dapat mengidentifikasikan kepenyairan Fatah Yasin. Rupanya—kerinduan dengan keperihan, cinta dengan keperihan, kepasrahan dengan keperihan, sunyi dengan keperihan—dalam sajak-sajak Fatah kental dengan nuansa keheningan (yang seperti ranjau menjebak di sana-sini), kemurungan, dan kegelisahan sebagaimana saya singgung di muka. Lihatlah:


Barangkali hanya desiran angin yang merindu

Engkau terus-menerus menjelma bianglala

Menciptakan kesepian yang menghitam dalam dadaku

Begitu jauh sudah perjalanan ini

Burung yang selalu menjeritkan kesia-siaan

Masih saja menangkap bayangmu

Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi


2001 (Fatah Yasin Noor, Orkestra Sunyi)


Sebuah kerinduan yang intensif, kesepian panjang, pengembaraan. Keperihan terungkap dengan: Burung yang selalu menjeritkan kesia-siaan. Dalam kodisi (situation of event) dalam sajak seperti ini, kita secara santai dihadapkan pada kelengangan sekaligus kemurungan yang menawarkan kepada kita untuk masuk dalam tahap kontemplatif akan makna kesetiaan atau intensitas cinta dan keheningan. Digambarkan dengan sederhana: Masih saja menangkap bayangmu/Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi. Aku lirik tetap tak kuasa menguak apa yang sebenarnya ada di dalam jiwanya. Sebuah keheningan dan permenungan yang luas dan sepi. Orkestra Sunyi juga memvisualkan kepasrahan di dalam kesunyian. Kemurungan-keperihan terasa begitu dalam ketika kefanaan hanya membawa kesia-siaan. Dan semua kesia-siaan yang dijeritkan Burung menggambarkan bahwa kesia-siaan adalah sayatan keperihan. Dan semua telah menjadi perjalanan empirik Lewat hari-hari, tahun-tahun tak bertepi.

Ah, Fatah Yasin Noor memang selalu mengajak pada kesenyapan yang diam-diam dan menjebak kedalam estetika hening permenungan. Ia seperti memasang ranjau-ranjau keheningan di setiap diksi dalam sajaknya. Lihatlah:


Kesetiaanmu pada laut berujung di cakrawala

Seperti hari yang terus menggagas hujan

Dan perjalanan senja merambah dinding rahasia

Kuning keperakan pada keningmu: Itulah tanda

Yang sekilas kutangkap untuk esok hari

Ketika pantai berkejaran dengan mataku


2001 (Fatah Yasin Noor, Gagasan Hujan)


Gila! Kesetiaanmu pada laut yang begitu dahsyat dan meledak-ledak disenyapkan oleh perjalanannya yang berujung di cakrawala. Waktu yang berjalan menumbuhkan rasa ingin kesejukan dengan hari yang terus menggagas hujan. Sebuah kerinduan. Sebuah impian dan harapan. Itulah yang termanifestasi dari cinta. Suatu cita-cita yang berkomunikasi dengan kesunyian dan permenungan dengan intens dan setia menggagas hujan.

Fatah, boleh jadi, hanya menulis dengan gaya visual keperihan, kegelisahan, kemurungan, kesepian. Hampir di dalam sajak-sajaknya tak terdapat model-model kontekstual. Saya pikir Fatah menulis hanya pakai rasa (feeling) an sich dan otak cukup sebagai pemantau saja. Namun begitu, ketika mengapresiasi karya-karya Fatah Yasin Noor kita menemukan potongan-potongan otak yang cerdas mengental dan berceceran. Sehingga memang tidak kaget jika Fatah Yasin Noor dikenal dengan merek “penyair intelektual” di Banyuwangi.

Demikianlah guntingan-guntingan peristiwa dan bertitik-titik keperihan dalam sajak-sajak Fatah Yasin Noor. Ayo, apa lagi yang bakal sampeyan tulis Bang Fatah?


Sunyi menampar


Atau hening yang menampar

Aku tak tahu


Lalu di sana berdiri gurun sepi

Menghadang

Dalam setiap jejak luka

Dan mungkin hanya labirin

Tempat akhir daun-daun

Yang mengering, yang menguning

Entah apa maknanya


September 1990 (Fatah Yasin Noor, Nokhta Biru)


Banyuwangi, 20 Mei 2003

Sajak Taufiq Wr. Hidayat


Senjakala yang Purba I


Orang-orang berjas hitam, di tengah hujan yang mendesak pada tembok-tembok kota tua yang tak mengenal manusia. Di sini, dinding gang lautan kebosanan, mendaur mimpi dengan sunyi, darah muncrat di jalan sempit yang renta.

Aku

terduduk

di

tepi

itu.

Bunyi-bunyi kembali mengacak diri dalam ruang, waktu dan wajah berdebu dari jalan yang menderu melulu. Tiap-tiap kata menyembunyikan api, tiap-tiap detik memungkinkan banyak lagi sesuatu yang tak terduga.


Seorang perjaka mengecat jalan raya dengan peluh, rambut panjang tak terkira. Mengurailah matahari yang tak pernah nyanyi. Orang-orang tak lagi berpikir yang lain, semua demi hidup sendiri-sendiri; keluarga dan kejayaan yang tak pasti, dirangkai melati pada siang dan malam hari. Mari menenggak racun, tawar waktu kepada kita. Bangunan-bangunan tinggi menikam cakrawala, sayap seriti gemetar pada pintu senja yang tak terbantah. Bersemayamlah irama semesta dalam gamang. Orang-orang itu berlalu-lalang, datang dan pergi lalu entah ke mana lagi. Sementara

Aku

terduduk

di

tepi

itu.


Muncar, 2009










Senjakala yang Purba II


Orang-orang mendesak arloji yang menuding angka 11.55 dalam pengendaran jarum angka 23.55. Kesibukan menimbun kecemasan kota-kota dalam harum pinisilin. Dunia terus berlari. Membuka kembali daun pintu pada bayang-bayang yang hampir hilang. Aku mengubur bibirmu di kejauhan angan, menegaskan stasiun kota yang membenamkan lampu-lampu senjakala.


Dari segala pengendaraan. Dunia berlari. Mendengus seperti kereta api yang pulang pergi dari stasiun tua di tepian senjakala. Kita belum berhenti memburu arloji yang jarumnya selalu menuding angka 11.55 yang bergesernya pada angka 23.55. Kita tak henti meminum air yang sudah didinginkan ke dalam tenggorokan yang selalu dipanggang kata-kata.


Muncar, 2009




Seribu Jalan Raya


Seribu jalan raya.

Orang-orang mentasbihkan kenyataan dari segala kesibukan.

Tatapan-tatapan berdesakan dari segala ruang yang bergantian.

Lalu lintas kecemasan memadati waktu yang berburu.

Nafsu liar adalah harum parfum yang menusuk hidungmu bersama udara.

Raung mesin, dan kesunyian diam-diam mengendap dalam setiap nafas yang menumpas.

Aku diantar senja, menekuni jalan yang tak pernah basah dengan air mata, memantulkan ramai atau menegaskan kesia-siaan, meminum keringat segala desah yang menyayat.


Seribu jalan raya.

Dan kita yang terus berkata-kata.


Muncar, 2009





Jenak


Di dalam batas segenap kegentingan

Pendiaman diri yang terdesak dalam dada

Aroma lautan, amis ikan

Udara panas

Menyisakanmu yang meranggas


Perjamuan yang terserak

Di antara nyaring yang ramai

Kehausan yang memuaikan kecemasan


Sungguh tiada waktu berseru

Segala yang bermakna ungu

Membekas pada bibirmu

Yang dengan tabah

Menyulam waktu yang terus memburu


Muncar, 26 Maret 2009





Semenjak


Ada yang gelisah. Pada

Malam yang diam.

Ada yang tiba-tiba datang,

Di wajah jendela.


Di situ batas menegas,

Menyampaikan sunyi pada sejarah


Banyuwangi, 2009

Catatan Kecil buat Angin yang Pagi


Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


Membaca novel yang ditulis Hari Pr. berjudul "Elegi Angin Pagi", terasa oleh kita udara segar pedesaan, harum tanah sehabis tersiram embun, dan wangi daun-daun pohonan mahoni. Kesegaran pedesaan yang ditulis Hari dalam novelnya mengajak pembaca larut ke dalam sebuah ruang dinamisasi masyarakat pedesaan yang masih murni dari nilai-nilai individualistik, masih menganut dengan kental nilai-nilai tradisi tanpa terkotori oleh kegiatan kota yang menjauh dari realitas kesejatian hidup. Kondisi itu dalam pandangan Hari Pr., mungkin adalah sebentuk kondisi yang mapan (sehingga harus dibongkar), atau mungkin kondisi rawan yang rentan terhadap pengaruh dari luar. Desa tidak menjadi eksklusif, ia menjadi inklusif sehingga ia menerima pengaruh dan wacana dari luar potensinya sendiri. Dengan demikian, desa yang digambarkan sedemikian ideal dalam novel "Elegi Angin Pagi" yang baru-baru ini diluncurkan itu, mengalami distorsi dan kegamangan nilai-nilai. Persoalan ini dimulai dari perjalanan sang tokoh Angin. Angin adalah orang desa yang melanjutkan kuliahnya di desa. Di desanya, ia menghadapi realitas masyarakat yang tidak berpendidikan, sehingga keberadaan sang Angin menjadi tumpuan harapan warga desanya.


Dengan berbekal semangat dan kehendak untuk memberikan yang terbaik bagi desanya, sang Angin pun mulai mengabdi pada desanya itu. Tapi, apa yang terjadi? Sang Angin harus menghadapi dinamika politik di desa terkait kepemimpinan desa. Ketika ia tengah memberikan sebentuk pengabdian bagi desanya, ia malah diculik dan dilepaskan setelah hampir mengalami goncangan jiwa. Mungkin setting waktu novel ini adalah di tahun-tahun masa Orde Baru, di mana marak penculikan dan pelarangan atau sensor. Angin dianggap sebagai anak-cucu PKI karena ia sangat suka menyanyikan lagu Genjer-genjer ciptaan kakeknya. Namun, ada juga ironi di dalam dialognya, yakni ketika Angin dilarang menyanyikan lagu itu, Angin menjawab: "Ini kan sudah jaman kebebasan...".


Aliterasi dan penggambaran obyek yang dikisahkan Hari Pr. dalam novelnya cukup menggugah, sehingga kita akan terbawa pada kondisi penceritaan yang lancar dengan dialog-dialog yang mengalir. Di samping itu, perjalanan tokoh Angin kemudian menjadi sebuah gambaran sebuah perjalanan anak muda yang gelisah melihat dinamika faktual dalam kehidupan desanya. Ini cukup sejalan dengan pengalaman Hary Pr. sendiri sebagai seorang aktivis mahasiswa di Banyuwangi sejak tahun 2000-an hingga di tahun 2005, sampai ia terpilih sebagai salah satu anggota KPUD Banyuwangi. Menjadi menarik, karena novel ini cukup kental menggambarkan sebuah pergulatan batin sang Angin dari kehidupannya secara pribadi hingga kiprahnya bagi orang banyak di desanya. Pergulatan dan perjalanan ini menanggung resiko yang tidak enteng bagi sang Angin, di mana ia harus menghadapi intimidasi dan pengkucilan, ia harus menghadapi benturan nilai-nilai yakni antara nilai-nilai yang ia yakini selama ini dengan nilai-nilai faktual di tengah dinamika masyarakatnya sendiri.


Novel ini memberikan sebentuk gambaran kepada kita, bahwa sebuah pencapaian memang memerlukan aktualisasi yang tidak enteng, di mana tokoh dalam novel ini harus berhadapan dengan "kegendengan-kegendengan" perjalanan masyarakat dan ulah para tokoh yang berambisi meraih kekuasaan desa. Penggambaran desa dengan novel ini adalah gambaran aktual negeri kita saat ini, bukan?


Ada yang menarik dari novel Hari Pr. "Elegi Angin Pagi", yakni novel ini menggambarkan juga dinamika budaya Banyuwangi dari banyak sisi penceritaan dan dialog-dialognya. Ada setting kehidupan dan 'cara' Using dan Mataraman. Sebagaimana kita ketahui bersama, Banyuwangi adalah sebuah wilayah yang memiliki kemajemukan etnis. Sehingga dapatlah kita sebut di sini, bahwa budaya Banyuwangi adalah budaya kerakyatan. Kaitannya dengan hal itu, novel "Elegi Angin Pagi" cukup basah di dalam menggambarkan realitas budaya Banyuwangi sebagai sebuah kekuatan lokalistik.


"Elegi Angin Pagi" adalah novel yang cukup mengejutkan yang telah terbit dan ditulis oleh orang Banyuwangi. Dalam sejarah kesusastraan di Banyuwangi, baru tiga novel yang sudah terbit, yakni "Kerudung Santet Gandrung" karya sastrawan gaek Hasnan Singodimayan, "Berdirinya Kerajaan Macan Putih" karya Armaya (yang juga penulis senior Banyuwangi), dan ketiga adalah "Elegi Angin Pagi" yang ditulis oleh penulis baru, Hary Pr. yang sehari-hari kita mengenalnya bukan seorang penulis sastra. Ini artinya, ada potensi yang terpendam dalam diri Hary Pr. di dalam melahirkan sebuah karya sastra, di mana novelnya sebagian besar menggambarkan kecemasan dan kegelisahan batinnya memandang realitas kehidupan politik di Banyuwangi. Kemunculan novel Hary Pr. ini perlu kita rayakan sebagai seorang bayi yang baru lahir di jagat kesusastraan Banyuwangi, agar karya-karya sastra terus bermunculan. Kritik sastra kita perlukan, namun mari kita menunggu babak baru kebangkitan sastra di Banyuwangi setelah ini. Mudah diucapakan, tetapi harus kita buktikan, bukan? Semoga.


Banyuwangi, 29 Mei 2009

Minggu, 24 Mei 2009

Kau Menari di Dalam Lautmu

Cerpen Taufiq Wr. Hidayat

“Pada sebuah tepi,” demikian kau awali sebuah ceritamu kepadaku.

“Pada sebuah tepi yang apa?” begitu aku bertanya.

“Pada sebuah tepi laut. Lautan yang mengisahkan tentang sebuah bukit kecil ketujuh yang ditumbuhi pohonan. Pohonan yang tidak pernah terjamah,” katamu sembari menari. Kau melompat-lompat. Agresif. Namun tak menyimpan kegarangan. Daging-daging dari tubuhmu yang gembur rontok ke tanah. Udara dingin. Angin lautan yang terkadang kencang pada sebuah perkampungan tepi laut membawamu terbang.

Kereta api yang bertahun-tahun karatan seolah tak pernah mengabarkan kapan ia akan berangkat. Langit ungu. Bulan separuh. Orang-orang membiru.

Kau masih di situ, menunggu dering dari sebuah wartel yang atapnya berlumut. Sedangkan berita mengenai kampungmu masih terngiang dibawa jerit burung gereja yang lapar. Tentang kampung kelahiran yang diam-diam digadaikan kepada pihak penambang dari pusat. Konon, ikan-ikan dalam mimpimu berenang ke tepi laut, mereka merindukan muara, air tawar untuk sejenak memandikan tubuhnya yang tak akan pernah asin dalam lautan air biru itu. Kau terbangun mendadak. Malam. Dan jam tua mendentangkan waktu yang kembali menyusun bangku-bangku kereta. Ikan-ikan melompat dari dalam kepalamu. Bau hangus kabel yang terbakar menyengat hidungmu dan hidungku.

“Masih dingin dan hujan tak membawa berita tentang cuaca dari tepi hutan,” katamu.

“Tapi, orang-orang masih berkomplot di tikungan. Topinya topi hujan. Jas hujan yang menyala. Dan di sebuah ruang ada yang menawarkan kehangatan, yakni tubuh yang segar serta daging yang ranum. Atau segelas jahe untuk melegakan tenggorokan, atau secangkir wiski yang panas,” kataku tak mengerti.

***

Seorang pejabat mengenakan jam tangan dari emas. Tubuhnya yang bergula seolah becek dan berjatuhan ke lantai. Rapat belum dimulai. Orang yang di tepi jalan itu mengamati dari balik jendela mobil hitam yang kacanya hitam. Ia mengawasi gedung pemerintah dengan tatapan seolah tak berkedip. Hujan masih turun dengan leluasa tanpa menandakan kapan akan berhenti.

Kau masih menari. Daging-daging tubuhmu yang gembur jatuh ke tanah. Kau terus menari seolah kesurupan bagai penari Seblang yang merayakan syukur akan melimpahnya hasil-hasil pertanian. Padahal di saat fajar, orang-orang juga merayakan upacara kematian dengan tarian dengan nyanyian dengan pesta makan dengan seks. Ya. Puncak segala kemegahan adalah seks. Mereka memburu itu. Menduduki kekuasaan, menggali kekayaan, mengukir nama dan keluarga, menggali emas dan menghabisi manusia, tak lain demi puncak kemegahan. Tapi, kau masih terus menari. Menari. Menari. Tertawa lalu meneguk secangkir anggur. Tubuhmu yang becek bergetar-getar lalu rontok, luruh ke bumi. Bumi yang penah menampung kelahiranmu.

“Aku harus pulang,” katamu.

“Ke mana?” tanyaku.

“Pulang ke tepi.”

“Tepi yang mana?”

“Tepi laut. Harum rambut yang terbakar dan harum kabel yang panas membuatku bergairah untuk kembali melayani kegarangan para binatang.”

“Siapa orang-orang itu?”

“Orang-orang itu.”

“Siapa?”

“Orang-orang itu. Orang-orang yang menanam emas di kepalanya.”

Langit hitam. Mendung bergerak pelan-pelan. Hujan mengalir. Seorang tua di tepi jalan, tertatih memikul kecemasan. Asap tembakau mengepul dari sebuah warung. Dan rapat belum dimulai. Sedangkan di luar, seorang lelaki mencurigakan mengawasi gedung pemerintah dari balik kaca mobilnya dengan seksama.

“Kapan rapat dimulai?” tanya seorang lelaki yang bergigi emas.

“Belum. Rapat belum dimulai. Belum,” jawab wanita bertubuh gembur dan mengenakan gelang emas di lengannya.

“Kapan?”

“Sebentar!”

“Segera! Tidak ada waktu lagi! Birahi tidak mungkin ditangguhkan lebih lama lagi, Bu!” ujar lelaki berambut putih dan giginya besar-besar seperti kapak.

“Sabarlah.”

“Baik.”

“Nah.”

“Jangan lama.”

“Tentu.”

Jalanan basah. Hujan terus mengalir. Sedang kau belum selesai menari. Kali ini ada air mata yang ikut mengalir dari kedua tepi matamu.

“Aku akan ke tepi,” kataku padamu.

“Ke tepi mana?” tanyamu.

“Ke tepi matamu.”

“Oh.”

“Ya.”

Jalanan basah. Lampu-lampu gemigil dihajar hujan. Asap tembakau mengepul ke jalanan. Bau parfum dan harum emas yang baru matang.

“Mari melakukan perjalanan,” katamu sambil terus menari.

“Perjalanan?”

“Ya. Sebelum segalanya terlibat dan sebelum segalanya meminta syarat dari waktu yang sekarat dan ruang yang karat. Ayo! Kita lakukan perjalanan.”

“Ke mana?”

“Ke tepi laut. Tepi dari segala tepian yang kehilangan perahu dan ikan.”

Kulihat ikan-ikan berlompatan dari dalam kepalamu. Bau kabel terbakar makin menusuk ke dalam hidungku. Tapi, kereta api malam hari yang belum juga berangkat masih kulihat tergeletak di dalam matamu. Bau amis darah. Darah dari ikan-ikan. Kau tiba-tiba berhenti menari. Diam. Mematung. Daging-daging dari tubuhmu terus berjatuhan makin cepat ke tanah. Rontok. Terus rontok. Namun, seolah daging dari tubuhmu yang becek dan gembur itu tak pernah habis disedot gravitasi bumi. Tiba-tiba kau melompat. Melompat ke dalam laut. Sampai ke dasar laut. Kau menari di situ. Di dasar laut itu.

“Rapat sudah dimulai. Kebijakan negara segera ditetapkan.”

“Bagus.”

Dan orang yang di tepi jalan hujan itu, mengawasi dengan teliti semakin geram semakin sakit hati semakin marah semakin marah semakin marah dari balik kaca jendela mobil hitam.

Dan kau terus menari. Menari di dasar lautan. Dagingmu melecuh dan lecet digerogoti air laut. Tubuhmu menjadi putih. Ya. Air laut. Dan ikan-ikan berenang di dalam kepalamu.

Banyuwangi, 2009


Biodata Penulis

Taufiq Wr. Hidayat, lahir di Banyuwangi. Menulis puisi, esai, dan cerpen di sejumlah media massa lokal dan nasional. Sajak, esai dan cerpennya pernah dimuat di Kompas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Ge-M, Jejak, dll. Sejumlah puisinya telah dibukukan dalam kumpulan sajak tunggalnya berjudul "Suluk Rindu" (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman, 2005). Kumpulan esai dan prosanya berjudul "Banyuwangi Senjakala dalam Kecemasan" (Katarsis, 2005) dan "Kekuasaan dan Kekuatan Rakyat" (Katarsis, 2006). Kini tinggal di Banyuwangi