Kamis, 28 Mei 2009

Catatan Kecil buat Angin yang Pagi


Oleh: Taufiq Wr. Hidayat


Membaca novel yang ditulis Hari Pr. berjudul "Elegi Angin Pagi", terasa oleh kita udara segar pedesaan, harum tanah sehabis tersiram embun, dan wangi daun-daun pohonan mahoni. Kesegaran pedesaan yang ditulis Hari dalam novelnya mengajak pembaca larut ke dalam sebuah ruang dinamisasi masyarakat pedesaan yang masih murni dari nilai-nilai individualistik, masih menganut dengan kental nilai-nilai tradisi tanpa terkotori oleh kegiatan kota yang menjauh dari realitas kesejatian hidup. Kondisi itu dalam pandangan Hari Pr., mungkin adalah sebentuk kondisi yang mapan (sehingga harus dibongkar), atau mungkin kondisi rawan yang rentan terhadap pengaruh dari luar. Desa tidak menjadi eksklusif, ia menjadi inklusif sehingga ia menerima pengaruh dan wacana dari luar potensinya sendiri. Dengan demikian, desa yang digambarkan sedemikian ideal dalam novel "Elegi Angin Pagi" yang baru-baru ini diluncurkan itu, mengalami distorsi dan kegamangan nilai-nilai. Persoalan ini dimulai dari perjalanan sang tokoh Angin. Angin adalah orang desa yang melanjutkan kuliahnya di desa. Di desanya, ia menghadapi realitas masyarakat yang tidak berpendidikan, sehingga keberadaan sang Angin menjadi tumpuan harapan warga desanya.


Dengan berbekal semangat dan kehendak untuk memberikan yang terbaik bagi desanya, sang Angin pun mulai mengabdi pada desanya itu. Tapi, apa yang terjadi? Sang Angin harus menghadapi dinamika politik di desa terkait kepemimpinan desa. Ketika ia tengah memberikan sebentuk pengabdian bagi desanya, ia malah diculik dan dilepaskan setelah hampir mengalami goncangan jiwa. Mungkin setting waktu novel ini adalah di tahun-tahun masa Orde Baru, di mana marak penculikan dan pelarangan atau sensor. Angin dianggap sebagai anak-cucu PKI karena ia sangat suka menyanyikan lagu Genjer-genjer ciptaan kakeknya. Namun, ada juga ironi di dalam dialognya, yakni ketika Angin dilarang menyanyikan lagu itu, Angin menjawab: "Ini kan sudah jaman kebebasan...".


Aliterasi dan penggambaran obyek yang dikisahkan Hari Pr. dalam novelnya cukup menggugah, sehingga kita akan terbawa pada kondisi penceritaan yang lancar dengan dialog-dialog yang mengalir. Di samping itu, perjalanan tokoh Angin kemudian menjadi sebuah gambaran sebuah perjalanan anak muda yang gelisah melihat dinamika faktual dalam kehidupan desanya. Ini cukup sejalan dengan pengalaman Hary Pr. sendiri sebagai seorang aktivis mahasiswa di Banyuwangi sejak tahun 2000-an hingga di tahun 2005, sampai ia terpilih sebagai salah satu anggota KPUD Banyuwangi. Menjadi menarik, karena novel ini cukup kental menggambarkan sebuah pergulatan batin sang Angin dari kehidupannya secara pribadi hingga kiprahnya bagi orang banyak di desanya. Pergulatan dan perjalanan ini menanggung resiko yang tidak enteng bagi sang Angin, di mana ia harus menghadapi intimidasi dan pengkucilan, ia harus menghadapi benturan nilai-nilai yakni antara nilai-nilai yang ia yakini selama ini dengan nilai-nilai faktual di tengah dinamika masyarakatnya sendiri.


Novel ini memberikan sebentuk gambaran kepada kita, bahwa sebuah pencapaian memang memerlukan aktualisasi yang tidak enteng, di mana tokoh dalam novel ini harus berhadapan dengan "kegendengan-kegendengan" perjalanan masyarakat dan ulah para tokoh yang berambisi meraih kekuasaan desa. Penggambaran desa dengan novel ini adalah gambaran aktual negeri kita saat ini, bukan?


Ada yang menarik dari novel Hari Pr. "Elegi Angin Pagi", yakni novel ini menggambarkan juga dinamika budaya Banyuwangi dari banyak sisi penceritaan dan dialog-dialognya. Ada setting kehidupan dan 'cara' Using dan Mataraman. Sebagaimana kita ketahui bersama, Banyuwangi adalah sebuah wilayah yang memiliki kemajemukan etnis. Sehingga dapatlah kita sebut di sini, bahwa budaya Banyuwangi adalah budaya kerakyatan. Kaitannya dengan hal itu, novel "Elegi Angin Pagi" cukup basah di dalam menggambarkan realitas budaya Banyuwangi sebagai sebuah kekuatan lokalistik.


"Elegi Angin Pagi" adalah novel yang cukup mengejutkan yang telah terbit dan ditulis oleh orang Banyuwangi. Dalam sejarah kesusastraan di Banyuwangi, baru tiga novel yang sudah terbit, yakni "Kerudung Santet Gandrung" karya sastrawan gaek Hasnan Singodimayan, "Berdirinya Kerajaan Macan Putih" karya Armaya (yang juga penulis senior Banyuwangi), dan ketiga adalah "Elegi Angin Pagi" yang ditulis oleh penulis baru, Hary Pr. yang sehari-hari kita mengenalnya bukan seorang penulis sastra. Ini artinya, ada potensi yang terpendam dalam diri Hary Pr. di dalam melahirkan sebuah karya sastra, di mana novelnya sebagian besar menggambarkan kecemasan dan kegelisahan batinnya memandang realitas kehidupan politik di Banyuwangi. Kemunculan novel Hary Pr. ini perlu kita rayakan sebagai seorang bayi yang baru lahir di jagat kesusastraan Banyuwangi, agar karya-karya sastra terus bermunculan. Kritik sastra kita perlukan, namun mari kita menunggu babak baru kebangkitan sastra di Banyuwangi setelah ini. Mudah diucapakan, tetapi harus kita buktikan, bukan? Semoga.


Banyuwangi, 29 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar